Journey to Pegunungan Bintang






Pegunungan Bintang, Papua menjadi destinasi tersendiri bagi penulis. Melintasi 4500 KM dari Jakarta, berlabuh di Jayapura dan ditemani si gagah Trigana melintasi perbukitan Aplim Apom akhirnya sampai jua ke Oksibil, ibu kota kabupaten Pegunungan Bintang. Daerah paling timur negeri ini yang berbatasan langsung dengan Papua New Guinea.

Perjalanan ke daerah di atas 3000 dpl ini dalam rangka memfasilitasi organisasi masyarakat sipil terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah. Bertemu dengan masyarakat, berinteraksi dan menapaki jalan berkelok tak terasa singkat karena ditemani keramahan penduduk dan segarnya udara pegunungan.

Kumpulan cerita-cerita ini semoga menjadi bahan bacaan menarik bagi anda. Saya berharap, suatu saat nanti anda para pembaca bisa berkunjung ke sana dan menulisnya lebih baik daripada saya tentang Pesona tak tergantikan, negerinya Aplim Apom, Pegunungan Bintang.

Yepmumm..
 Jayapura, Juni 2013




1. Welcome to Oksibil



Oksibil adalah distrik sekaligus ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang.  Luasnya tidak seberapa dibanding dengan distrik-distrik yang lain. Namun karena di sana pusat pemerintahan, maka tak ayal menjadikannya juga pusat ekonomi, tempat paling banyak penduduknya dan yang pasti sarana infrastruktur yang lebih baik.


Suhu di sana relatif dingin karena wilayahnya adalah pegunungan. Bila anda tengok peta Papua, bagian tengah yang memanjang warna coklat merupakan daerah dengan ketinggian 3000-4000 dpl, dan Pegunungan Bintang menjadi daerah paling ujung timur yang dilalui warna coklat tersebut. Saya belum mengukurnya secara pasti, namun diperkirakan suhunya antara 17-24 derajat celcius. Apalagi kalau malam hari, selimut bagian luar saya saja seperti basah karena suhunya yang cukup dingin. 

Waktu mendarat di bandara Oksibil, tepatnya pukul 11.30 WIT, suasana pegunungan langsung terasa. Hawanya yang sejuk menambah suasana menjadi nyaman setelah satu jam berada di pesawat. Welcome to Oksibil, Pegunungan Bintang! Daerah paling ujung timur Indonesia, perbatasan dengan Papua New Guinea. Waw sungguh mengesankan, senang tak terkira akhirnya bisa menapakan kaki di tanah Papua ini. Decak kagum ke hadirat yang kuasa, sungguh besar kepunyaannya. 


2. Negerinya Aplim Apom





Aplim Aplom adalah kumpulan gunung-gunung yang mengelilingi Pegunungan Bintang. Suku Ngaloom berpendapat bahwa dari daerah inilah awal mula kebudayaan Papua terbentuk. Entah benar atau tidak, belum ada penelitian tentang itu. Penulis pernah berdiskusi dengan pa Kuncoro, salah satu aktivitis KIPRA yang sudah 42 tahun tinggal di Jayapura, dirinya pernah mendengar langsung dari koleganya Koentjoroeningrat, bahwa salah satu hasil penelitiannya adalah sejak dulu masyarakat di daerah Pegunungan Papua tengah sudah mengenal teknologi pertanian modern yaitu dengan menutupi tanaman dengan tumbuhan yang sudah lapuk. 
 
Negerinya Aplim Apom ini memang masih misterius. Salah satu anak ketua dewan adat Aplim Apom bercerita pada saya, bapaknya mengaku pernah bertemu dengan Tuhan Yesus di hutan perbatasan dengan Papua New Guinea.  

Seorang rekan bernama Isak Mul menceritakan pengalamannya berjalan kaki selama 3 hari 2 malam. Tujuannya pergi ke kampung halamannya. Untuk mencapainya tidak ada jalan lain kecuali dengan jalur darat. Dia harus melewati beberapa gunung dan lembah. Apabila ada kampung biasanya dia istirahat dan numpang makan. Ada kebiasaan di sini, jika ada tamu datang, siapapun dia, maka warga kampung tersebut harus menyuguhinya dengan maksimal. Apabila tamu lapar dikasih makan dan jika ingin menginap maka diberikan tempat kosong. Sebuah hal yang jarang kita temui di abad modern ini. Kami kadang membayangkan gunung seperti yang di Jawa, dan itu salah. Maka memang, sudah bisa dipastikan fisik orang-orangnya sudah teruji. Kondisi geografis pegunungan membuat mereka kuat. Sangat jarang saya menemukan anak sekolah yang letoy-letoy. 

Negerinya Aplim Apom ini menjadi khas di mata saya. Pertama, kondisi geografisnya, kedua budaya sosial, dan ketiga masyarakatnya. dewan adat sangat berpengaruh di sini. Pun demikian dengan pihak gereja yang menjadi sentral di kalangan warga mayoritas kristen ini. Lalu di mana peran pemerintah daerah ? entahlah, menurut pengalaman kami berinteraksi dengan penduduk lokal, aparat pemerintah hanya datang untuk mengambil gaji bulanan saja. Ahh, negerinya Aplim Apom ternyata mulai dirusak orang tak tau diri..




3. “Om Kang”


Dengan penuh percaya diri, setelah mas Hardin mempersilahkan berkenalan, saya langsung menyampaikan nama, “saya biasa dipanggil kang ramlan,” ujarku mantap. Namun entah kenapa, teman-teman tiba-tiba tersenyum penuh arti.

Leony Oktemka, salah satu peserta dari dewan adat mengenalkan dirinya. Tak ketinggalan dia menyebutkan kesukaannya yaitu “Om Kang”. Saya sedikit kaget, wah perempuan satu ini doyan juga sama om-om dan akang-akang ya.., pikirku dalam hati. Tak berselang lama, dia mungkin faham bahwa kami bisa saja salah mengartikannya. Dalam bahasa sukunya yaitu Ngaloom, Om itu ubi atau petatas, sedang Kang itu babi. Jadi kesukaannya ubi dan babi. “waw, hampir kaget setengah mati, jadi pantesan tadi mereka senyum-senyum, ternyata kang disini adalah....”.  Sesuatu yang tak berselang lama, membuat mas Widi dan mas Alif cengar-cengir dan menyiratkan satu kegembiraan di wajahnya masing-masing sambil menoreh gembira padaku. Duh nasib...nasib..   
 
Suku Ngaloom merupakan suku terbesar yang ada di Pegunungan Bintang, Papua. Pada suatu waktu kami menyempatkan untuk bertamu kepada ketua dewan adatnya. Kesan pertama, suku Ngaloom itu ramah-ramah. Dan memang, menurut beberapa yang sering berkunjung ke daerah-daerah pegunungan Papua, orang-orang di Pegunungan Bintang adalah yang paling ramah seantero orang pegunungan lainnya.  


Bahasa Ngaloom perlu dilestarikan. Menurutku, perlu ada yang membuat kamusnya. Dan hal itu aku utarakan kepada teman-teman. Tapi entah kenapa, mungkin perlu ada dorongan dari luar yang lumayan besar. Anak-anak muda Ngaloom harus tetap menjaganya, karena bisa jadi suatu saat mereka lupa apa artinya “om kang”.
 
Bahasa Ngaloom perlu dilestarikan. Menurutku, perlu ada yang membuat kamusnya. Dan hal itu aku utarakan kepada teman-teman. Tapi entah kenapa, mungkin perlu ada dorongan dari luar yang lumayan besar. Anak-anak muda Ngaloom harus tetap menjaganya, karena bisa jadi suatu saat mereka lupa apa artinya “om kang”.



4. Kelakuan Pejabat






Suster itu berbicara kepada kami dengan nada yang sangat serius, hingga kami malu untuk menoleh barang sedetikpun..

Kami dipanggil oleh bendahara dinas pendidikan ke rumahnya. Di sana sudah ada kertas yang perlu kami tanda tangani. Hari itu adalah pembagian dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Daerah. Sekolah kami mendapat jatah sekitar 60 juta rupiah setiap triwulannya. Namun waktu itu, kertas yang kami tanda tangani ternyata ganda. Sejenak kami perhatikan, ternyata itu untuk dua kali triwulan. Saya langsung protes, dan adu mulutpun terjadi. Pada akhirnya kami menolak hingga sampai sekarang tidak ada kucuran BOS ke sekolah kami.

Itu baru secuil dari sekian kasus yang mereka bagikan kepada kami. Lalu bagaimana dengan pemeriksaan keuangan dari pusat? Sejenak diam, lalu mengusap muka, “itu hanya formalitas saja, mana berani orang Jakarta datang ke sini, ujarnya”.

Saya ingat, seorang teman menceritakan kalau ada pejabat yang datang untuk melakukan audit, mereka sejak awal suka diberikan cerita-cerita konflik di daerahnya.Bagi pejabat yang cemen mungkin masuk tahap ini mereka langsung kendor. Tapi bagi yang setingkat lebih berani, setelah sampai ke daerah, kontan rekan si pejabat mengontak untuk diletuskan sebuah dua buah tembakan ke udara. Kondisi yang tentu saja membuat orang baru tiba panik, dan sudah pasti akan balik lagi ke pesawat karena dianggap danger zone untuk dikunjungi. Si pejabat ketawa-ketiwi dan miliaran rupiah pun aman tak kena pemeriksaan. 







Gambar Kantor Dharma Wanita yang Megah

Anda tahu, kantor yang fungsinya tidak jauh lebih penting daripada rumah sakit atau sekolah ini megahnya tak terkira. Setidaknya untuk tingkatan Pegunungan. Ini kantor istri bupati, jadi harus diberikan tempat istimewa, ujar seorang rekan. Saya tak bisa membayangkan, padahal isinya kosong. Beda jauh dengan kondisi rumah sakit yang persis berada di sebelahnya. Susah memang kalau begini, dasar kelakuan pejabat...
 

Suasana Kuliah S3

Umumnya, orang akan membayangkan suasana perkuliahan program Doktoral atau Strata Tiga itu menyeramkan. Faktanya, justru suasananya lebih sa...