PERGESERAN PARADIGMA PEMBANGUNAN DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Oleh: Ramlan Nugraha

Pergeseran Paradigma Pembangunan

Pembangunan yang berkembang sejak era industrialisasi lebih didominasi dengan pembangunan yang berpusat pada produksi (production centered development). Pada era ini, pembangunan ditandai dengan sentralisasi kekuasaan yang hanya dipegang oleh pihak yang memiliki sumber daya berupa kapital yang kuat, kurangnya keterlibatan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan, serta perkembangan perindustrian dengan penggunaan sumber daya alam yang tidak terkendali.  

Terjadinya pembangunan yang berpusat pada industri menyebabkan perekonomian yang terbuka. Orang yang memiliki kapital yang kuat dijadikan sebagai sumber daya dengan margin yang dijadikan sebgai keuntungannya. Perusahaan berdiri tanpa berfikir memikirkan limbah yang dibuang begitu saja. Konsep pembangunan yang sustainable tidak berjalan dengan baik dan memberikan dampak negatif bagi lingkungan.

Seiring berjalannya waktu, negara-negara di dunia pun mulai menyadari dampak yang diakibatkan dari pembangunan yang berpusat pada produksi. Mereka meyakini pembangunan seyogyanya bukan semata-mata untuk mengambil keuntungan semata hingga merusak sistem sosial dan lingkungan. Namun jauh dari itu, pembangunan sedianya untuk membangunan tatanan kehidupan sosial yang lebih baik. Kesadaran negara-negara untuk melakukan pembangunan yang berpusat pada rakyat (people centered development) pun semakin berkembang. Paradigma pembangunan yang selama ini terpusat pada produksi secara bertahap bergerse pada pembangunan yang terpusat pada rakyat.

Mengutip Guy Gran dalam Korten (1988), paradigma pembangunan yang berorientasi kepada rakyat memberikan peran kepada individu bukan menjadi subyek, namun sebagai aktor yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Karakter pembangunan yang menjadikan masyarakat sebagai pusatnya sangat berbeda dengan pembangunan konvensional. Perencanaan pembangunan yang sentralistik, bersifat top down kini bergeser dengan semakin terbukanya ruang-ruang partipasi masyarakat untuk terlibat dalam perencanaan.

Terdapat dua faktor penting yang dianggap menentukan pembangunan yang berpusat pada rakyat yaitu pertama adalah penekanan akan dukungan dan pembangunan usaha-usaha swadaya kaum miskin guna menangani kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri, dan kedua adalah kesadaran bahwa walau sektor modern merupakan sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi yang konvensional, tetapi sektor tradisional yang menjadi kekuatan sumber utama bagi kehidupan sebgaian besar rumah tangga miskin.


Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan yang terus-menerus untuk mencapai kebutuhan manusia menyebabkan jumlah produksi yang terus meningkat. Produksi yang  meningkat tanpa terkendali dapat memicu penggunaan sumber daya alam yang tanpa batas. Pada kondisi itulah keseimbangan antara hasrat manusia untuk memenuhi kebutuhannya dengan alam berada di titik yang tidak seimbang. Pembangunan yang berpusat pada produksi menyebabkan dampak terhadap lingkungan. Eksternalitas akibat industri menyebabkan kerusakan ekologis dan menimbulkan kerugian yang banyak. Jadi pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa masyarakat memenuhi kebutuhan manusia dengan cara meningkatkan potensi produktif mereka dan sekaligus menjamin kesempatan yang sama bagi semuanya.

Menjaga kelestarian dan sumber daya adalah kunci dari pemenuhan kebutuhan yang secara berlanjut, maka dari itu sumber daya harus ditingkatkan. Perubahan besar dalam pengambilan keputusan akan diperlukan untuk menanggulangi tingkat konsumsi negara-negara industri yang saat ini tinggi sekali, meningkatnya konsumsi di negara-negara berkembang, dan pertumbuhan penduduk. Akan tetapi upaya pelestarian alam hendaknya tidak disandarkan hanya dengan tujuan tujuan pembangunan. Itu merupakan kewajiban moral kita terhadap makhluk hidup lain dan generasi mendatang.

Mengutip Ismail Sergeldin dalam bukunya Making Development Sustainable, pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Didalamnya terdapat dua gagasan, pertama gagasan kebutuhan esensial bagi kaum miskin sedunia, yang harus diberi prioritas utama, dan kedua, gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan.

Di sisi lain, pembangunan berkelanjutan tidak hanya berbicara masalah ekologis semata. Mengutip Lele (1991), pembangunan berkelanjutan (sustainabilty development) dimaksudkan untuk mencapai tujuan kebutuhan dasar dan keberlanjutan ekologis dan sosial. Kebutuhan dasar atau basic needs merupakan tujuan dari perubahan yang dihasilkan dari pembangunan. Kondisi basis sosial dan ekologi dalam kehidupan manusia menjadi bagian terpenting dari pembangunan keberlanjutan.

Dalam perspektif sosiologis, pembangunan berkelanjutan merujuk keberlanjutan sistem sosial (Gale and Corday, 1994). Interpretasi dari keberlanjutan sistem sosial adalah keberlanjutan institusi yang dilihat dari 5 hal yaitu partisipasi, good governance, performance, complexity, dan deterioration. Terdapat 5 syarat untuk mencapai keberhasilan pembangunan keberlanjutan menurut Elliot (1994) yaitu pendekatan proses pembelajaran, prioritas utama pada rakyat, jaminan atas hak, keswadayaan dan kemampuan staf, komitmen dan kebersambungan. Syarat-syarat ini adalah nilai-nilai dan cara yang mesti dibawa dalam pembangunan berkelanjutan untuk mencapai keberlanjutan institusi terutama bagi komunitas di desa maupun kota. 

CONTOH STUDI KASUS DAN ANALISIS

Studi Kasus Program EU-CSO Empowerment di 3 Kabupaten di Kalimantan Barat

Contoh kasus pengembangan masyarakat yang diangkat oleh penulis adalah pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Wahana Visi Indonesia (WVI), sebuah organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan. WVI telah bekerja sama dengan Uni Eropa dalam empat tahun terakhir (2016-2020) melalui Program EU-CSO Empowerment. Tujuan dari program ini adalah mendorong penguatan kapasitas organisasi masyarakat sipil dalam advokasi kebijakan dan anggaran serta penguatan komunitas dalam memenuhi kesenjangan layanan kesehatan di Kabupaten Sintang, Sekadau, dan Melawi Kalimantan Barat. Layanan kesehatan yang didorong adalah Posyandu, Polindes/Poskesdes, Puskesmas Pembantu dan Puskesmas dengan area program di 50 desa, 15 kecamatan,dan 3 kabupaten.  

Dalam melaksanakan program, WVI memiliki pendekatan yang dinamakan Citizen Voice and Action atau Suara dan Aksi Warga Negara. Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dialog antara warga dengan pemerintah sebagai penyedia layanan publik untuk memperbaiki akuntabilitas/tanggung jawab pemerintahan agar meningkatkan layanan mereka kepada masyarakat. Dalam prosesnya, pendekatan ini terdiri dari 3 tahap, yaitu memampukan keterlibatan warga, keterlibatan melalui pertemuan masyarakat, dan meningkatkan pelayanan dan mempengaruhi kebijakan.  

No
Tahapan
Tujuan
Kegiatan
1
Memampukan keterlibatan warga negara
Meningkatkan kapasitas warga agar  mengetahui dan memahami tentang standar pelayanan minimum (SPM) layanan publik sehingga dapat mengupayakan akuntabilitas demi penyediaan layanan yang lebih baik.
Pengetahuan tentang kebijakan publik, menyiapkan materi dan sumber daya lokal, pendidikan dan mobilisasi warga negara, membangun jaringan dan koalisi serta menetapkan relasi dan hubungan.
2
Keterlibatan melalui pertemuan masyarakat
Meningkatkan proses partisipatif antara masyarakat dan penyedia layanan termasuk pemerintah untuk melakukan penilaian atas layanan publik yang disediakan dan  bersama-sama menyusun cara untuk mengatasi permasalahan yang ada melalui berbagai perbaikan layanan publik.
Pertemuan awal, pemantauan standar, kartu penilaian, dan pertemuan tatap muka.
3
Meningkatkan pelayanan dan mempengaruhi kebijakan
Mendorong implementasi dari rencana aksi yang telah disusun bersama antara masyarakat dan pemerintah.
Membangun jaringan dan koalisi, kegiatan advokasi dan mempengaruhi, serta dukungan dan pemantauan.
Tabel 2. Tahapan dalam Proses Citizen Voice and Action (CVA)


Penguatan komunitas yang difasilitasi oleh fasilitator desa dilakukan dengan meningkatkan kapasitas masyarakat pengguna layanan kesehatan yang sebagian besar adalah kaum perempuan untuk mengetahui hak-haknya sebagai warga negara. Masyarakat diajak berdiskusi tentang pelayanan kesehatan dasar yang selama ini disediakan pemerintah dan membandingkannya dengan standar pelayanan minimum (SPM).

Masyarakat kemudian melakukan kartu penilaian terhadap terhadap layanan kesehatan di tempatnya masing-masing seperti posyandu. polindes/poskesdes, pustu dan puskesmas. Hasil penilaian kemudian disampaikan melalui pertemuan tatap muka di desa  yang dihadiri oleh penyedia layanan, pemerintah desa dan tokoh masyarakat. Dalam pertemuan tersebut disusun rencana aksi bersama untuk memperbaiki kondisi layanan kesehatan melalui program/kegiatan yang ada di penyedia layanan maupun pemerintah desa. Di tingkat kabupaten, koalisi organisasi masyarakat sipil yang dibentuk melalui program ini, mendorong masukan masyarakat melalui penyampaian rekomendasi kebijakan kepada pemerintah daerah, audiensi kepada stakeholders di daerah seperti Dinas kesehatan, Bappeda, DPRD dan berbagai bentuk kegiatan advokasi lainnya.

Selama pelaksanaan program, pemberdayaan kepada komunitas telah memberikan dampak berupa adanya respon pemerintah desa untuk mengalokasikan anggaran melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dan perbaikan kualitas pemberian layanan kesehatan oleh penyedia layanan. Usulan masyarakat dapat terealisasi seperti pembangunan gedung posyandu/polindes/poskesdes, pengadaan peralatan layanan kesehatan, Pemberian Makanan Tambahan (PMT), dan layanan kesehatan puskesmas 24 jam. Alokasi anggaran kesehatan di 3 kabupaten pun mengalami peningkatan signifikan. Sebagai contoh di kabupaten Sintang, anggaran kesehatan meningkat dari Rp 174,32 Miliar pada tahun 2016 menjadi Rp 307,78 Miliar pada APBD tahun 2019.Beberapa regulasi yang diusulkan masyarakat juga sudah diterbitkan seperti Peraturan Kabupaten Melawi Nomor 3 Tahun 2018 tentang Perlindungan Anak.

Hal penting dalam pemberdayaan yang dilakukan melalui proses CVA ini adalah masyarakat yang awalnya tidak berani bersuara, kini menjadi pro aktif menyampaikan masukannya kepada pemerintah. Masyarakat kini terlibat dalam proses perencanaan di tingkat desa seperti Musrenbang dan menyampaikan masukan perbaikan kesehatan dasar sesuai dengan kebutuhannya. Di sisi lain, pemerintah pun memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan penganggaran di daerah serta mengakomodir usulan dari masyarakat.

Pergeseran Paradigma Pembangunan dari Mobilisasi ke Partisipasi
      
Kasus pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh Wahana Visi Indonesia telah menggeser paradigma pembangunan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah setempat. Pergeseran paradima yang terjadi adalah perencanaan pembangunan yang awalnya bersifat mobilisasi berubah menjadi partisipatif sebagai dampak dari pemberdayaan kepada masyarakat. Hal ini menandakan pembangunan mulai mengalami pergeseran dari awalnya Pembangunan yang berpusat pada produksi (Production Centered Development) menuju pembangunan yang berpusat pada rakyat (People Centered Development).

Dari Mobilisasi ke Partisipasi

Mengutip Guy Gran dalam Korten (1988), paradigma pembangunan yang berorientasi kepada rakyat memberikan peran kepada individu bukan menjadi subyek, namun sebagai aktor yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Dalam studi kasus di atas, masyarakat pengguna layanan yang awalnya tidak terlibat dalam proses perencanaan pembangunan sehingga hanya dapat menerima saja layanan kesehatan dasar dari pemerintah kini mengalami perubahan. Setelah adanya program EU-CSO Empowerment, masyarakat mulai mengetahui tentang hak dan standar pelayanan minimum yang harus disediakan oleh pemerintah untuk memberikan kualitas kesehatan kepada masyarakat. Masyarakat pun pada akhirnya dapat memberikan masukan dan suaranya dapat diperhitungkan oleh pemerintah.

Karakteristik dari pergeseran paradigma yang terjadi dalam studi kasus ini adalah sebagai berikut:

No
Aspek
Pembangunan Konvensional
Pembangunan Berbasis Masyarakat
(Contoh Studi Kasus)
1
Asumsi tentang Masyarakat
Berangkat dari pandangan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan yang rendah.
Kemampuan masyarakat untuk bersuara dan berperan aktif dalam pembangunan dapat meningkat dengan peningkatan kapasitas dan memampukan keterlibatan mereka dalam pertemuan-pertemuan dengan pemerintah.

2
Konsekuensi Perencanaan
Perencanaan bersifat top down dan sentralistis.
Perencanaan dibangun dengan dasar partisipatif dan mengakomodir masukan-masukan dari masyarakat. Masyarakat terlibat dalam proses perencanaan daerah di desa dan kabupaten.

3
Konsekuensi Perlakuan kepada Masyarakat
Menempatkan birokrat sebagai pihak yang dilayani oleh masyarakat
Birokrat secara bersama-sama dengan masyarakat menyusun rencana aksi perbaikan layanan kesehatan dasar. Masyarakat melakukan pemantauan terhadap program/kegiatan pemerintah.

4
Implikasi bagi Kehidupan
Menjadikan masyarakat sangat bergantung kepada pemerintah
Pemerintah dan masyarakat membangun pola-pola kolaboratif sehingga keduanya memiliki peran yang signifikan dalam pembangunan. Suara masyarakat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah.

Tabel 3. Perubahan karakteristik pembangunan pada contoh kasus


Mengutip Korten (1988), konsep pembangunan yang berpusat pada rakyat merupakan pendekatan pembangunan yang memandang inisiatif kreatif dari rakyat sebagai sumber daya pembangunan yang utama. Program EU-CSO Empowerment yang digagas WVI menitikberatkan kepada proses CVA yang dilakukan masyarakat di desa-desa. Usulan masyarakat berupa perbaikan layanan kesehatan di Posyandu, Polindes/Poskesdes, Pustu dan Puskesmas disampaikan secara langsung kepada penyedia layanan dan pemerintah desa. Usulan yang diberikan kepada masyarakat dalam kasus ini dapat dianggap sebagai inisiatif kreatif karena berasal dari usulan masyarakat sebagai hasil dari pengalaman mereka selama mendapatkan pelayanan publik oleh pemerintah. 

Inisiatif-inisiatif ini kemudian secara formal disampaikan dalam forum-forum seperti pertemuan tatap muka sebagai bagian dari kegiatan program WVI maupun dalam Musrenbang yang dilaksanakan di level desa, kecamatan dan kabupaten. Dalam konteks sumber daya pembangunan, masukan dari masyarakat ini menjadi feedback kepada penyedia layanan dan pemerintah untuk menyusun program dan kegiatan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Poin penting dalam studi kasus ini adalah kerangka kerja yang digunakan dalam pengumpulan dan analisis data pembangunan yang memusatkan perhatian pada rakyat adalah dengan memusatkan perhatian pada strategi penghidupan mereka dan kendala-kendala yang dihadapi dalam memperbaiki prestasi rumah tangga. Korten (1988) menyebut logika dari analisis ini menuntut suatu usaha mencari langkah-langkah untuk mengurangi kendala-kendala itu.

Dalam konteks ini, usaha yang dilakukan untuk mengurangi kendala-kendala berupa penyediaan layanan kesehatan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan telah menjadi kegiatan dalam program yang dilakukan WVI. Dalam pendekatan CVA yang mereka gunakan, pengembangan masyarakat dilakukan dengan memampukan terlebih dahulu keterlibatan masyarakat melalui peningkatan kapasitas mereka. Kegiatan yang dilakukan berupa pendidikan warga, pemantauan standar, kartu penilaian, dan pertemuan tatap muka. Pasca pertemuan yanng melibatkan masyarakat dengan pemerintah, secara bersama-sama mereka menyusun rencana aksi untuk memperbaiki atau meningkatkan layanan kesehatan dasar sesuai dengan standar yang telah ditentukan pemerintah.


Pengembangan Masyarakat pada Pengarusutamaan Pembangunan Berkelanjutan

Mengutip Lele (1991), pembangunan berkelanjutan tidak hanya bicara soal ekologi tapi juga basis sosial dan kebutuhan dasar manusia. Dalam perspektif sosiologis, aspek yang menjadi penting dalam keberlanjutan adalah keberlanjutan sistem sosial, partisipasi dan pemberdayaan (Pettersen, 1996; Mayo and Craig, 1995; Miller et al., 1995; Gale and Cordray, 1994, Ostrom et al, 1994; and Lele, 1991). Interpretasi dari keberlanjutan sistem sosial adalah keberlanjutan institusi yang dilihat dari 5 hal yaitu partisipasi, good governance, performance, complexity, dan deterioration.

Keberlanjutan institusi

Program EU-CSO Empowerment yang dilaksanakan WVI menitikberatkan pada penguatan organisasi masyarakat sipil dan komunitas dalam mendorong penyediaan layanan kesehatan dasar baik dari sisi kebijakan dan anggaran. Secara kelembagaan, program ini memperkuat peran masyakat dan kelembagaan seperti Posyandu dan Polindes/Poskesdes. Masyarakat dan kader posyandu diberikan peningkatan kapasitas seperti bagaimana memahami kebijakan publik, mengetahui sumber daya yang dimiliki, pendidikan warga dan membangun jaringan terkait isu layanan kesehatan dasar.

Peran aktif dari warga pada akhirnya dapat berpartisipasi dalam pembangunan di desa. Sebagai contoh adalah kader posyandu di Desa Tanjung Paoh, Kabupaten Melawi dilibatkan oleh pemerintah desa menjadi Tim Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) Tahun 2018, 2019, dan 2020. Kader-kader yang terlibat dalam tim berkontribusi dalam memberikan masukan atas peningkatan pelayanan kesehatan yang dapat dilaksanakan melalui program dan kegiatan oleh pemerintah desa. Mereka terlibat dalam penyusunan APBDes tahun 2019 sebesar Rp 1 Miliar. Pemerintah Desa terbantu karena penyusunan program dan kegiatan menjadi lebih tepat sasaran seperti penyusunan Rencana Anggaran dan Biaya (RAB) untuk Pemberian Makanan Tambahan (PMT).

Dalam konteks keberlanjutan institusi, pemberdayaan masyarakat yang dilakukan telah mendorong adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Partisipasi masyarakat yang tinggi tentu akan mempengaruhi tingkat keberlanjutannya. Di sisi lain, keterlibatan masyarakat dalam pembangunan menandakan berjalannya proses good governance. Suara masyarakat menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan dan pemerintah tidak menentukan kebijakannya secara sepihak. Melalui adanya partisipasi masyarakat seperti dalam kasus di desa Tanjung Paoh, penyusunan anggaran dalam APBDes untuk PMT semakin tepat sasaran. Hal ini tentu membuat kinerja (performance) penyusunan anggaran yang semakin baik dan transparan.

Selain keberlanjutan institusi yang menjadi bagian penting dari sistem sosial, Lele (1991) juga menekankan tentang tujuan dari pembangunan sendiri yaitu untuk mewujudkan kebutuhan dasar (basic needs). Kesehatan sebagai kebutuhan dasar manusia menjadi satu isu yang didorong melalui kasus yang penulis angkat. Layanan kesehatan dasar di Posyandu, Polindes/Poskesde, Pustu dan Puskesmas merupakan kebutuhan masyarakat sebagai pengguna layanan yang disediakan oleh pemerintah.

Dari sisi keberlanjutan ekologi, pengembangan masyarakat yang dilakukan melalui program ini telah mendorong pemerintah daerah untuk membuat ruang terbuka hijau sebagai bagian dari perwujudan kabupaten layak anak. Forum Anak Sintang sebagian dari organisasi masyarakat sipil mendorong komitmen pemerintah melalui berbagai kegiatannya. Pemerintah Kabupaten Sintang pun pada akhirnya mengalokasikan anggaran untuk pembangunan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) pada bulan November 2019. Tidak hanya itu, bersama sejumlah komunitas yang ada di Kabupaten Sintang, Forum Anak juga intens dalam mengkampanyekan kepada masyarakat agar menjaga Sungai Kapuas dari berbagai sampah plastik.


KESIMPULAN

Pergeseran paradigma pembangunan yang terjadi saat ini adalah pembangunan yang berpusat pada produksi (production centered development) menuju pembangunan berpusat pada rakyat (people centered development). Pembangunan yang berpusat pada rakyat ditandai dengan memposisikan rakyat tidak hanya sebagai subyek, namun juga sebagai aktor yang dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan dalam pemerintahan. Adanya pergeseran paradigma ini diantaranya ditandai dengan perubahan dari sentralistik ke desentralisasi, mobilisasi ke partisipasi, dan ekonomi konvensional ke keswadayaan lokal.

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang merupakan dampak dari pergeseran pembangunan saat ini, dimaksudkan untuk mencapai tujuan kebutuhan dasar dan keberlanjutan basis ekologi dan sosial dalam kehidupan manusia. Keberlanjutan ini ditandai dengan keberlanjutan institusi seperti adanya partisipasi, good governance, performance, complexity, dan deterioration.

Program EU-CSO Empowerment yang dilakukan Wahana Visi Indonesia di 3 Kabupaten di Kalimantan Barat yang mendorong penguatan organisasi masyarakat sipil dan komunitas untuk meningkatkan layanan kesehatan dasar merupakan salah satu contoh kasus dimana pengembangan masyarakat dapat menjadi pemicu dalam pergeseran paradigma pembangunan. Masyarakat yang awalnya tidak terlibat dalam proses perencanaan pembangunan melalui adanya pemberdayaan kini dapat berpartisipasi dalam pembangunan di daerah. Hal ini pun didukung dengan keberlanjutan lembaganya yang tidak hanya mendorong kebutuhan dasar (basic needs) namun juga memperhatikan keberlanjutan ekologi dan sosial.


*****














Suasana Kuliah S3

Umumnya, orang akan membayangkan suasana perkuliahan program Doktoral atau Strata Tiga itu menyeramkan. Faktanya, justru suasananya lebih sa...