Revitalisasi Nilai Perjuangan Ormas




Oleh : Ramlan Nugraha


Tulisan ini didedikasikan sebagai bahan diskusi menghadapi Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) periode 2008-2010. Sebuah langkah progresif harus dilakukan untuk menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks. Selamat membaca !




Kondisi perkembangan sosial politik yang terjadi di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran Organisasi Kemasyarakat (ormas). Menjamurnya jumlah Ormas menjadi salah satu faktor dalam memperkuat basis masyarakat untuk mengawal dan mengawasi segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perubahan signifikan yang mendasari hal ini adalah agenda reformasi yang terjadi pada 1998. Sebagai perbandingan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebelum reformasi (1996) jumlah Ormas hanya sekitar 10.000 tetapi pasca bergulirnya reformasi (2000) jumlahnya melonjak sampai sekitar 70.000.

Hal ini mengindikasikan bahwa keinginan masyarakat untuk turut serta dalam segala aspek kehidupan bangsa dan negara adalah semakin besar. Selain itu, fenomena menjamurnya Ormas-Ormas ini juga tidak bisa dilepaskan dari faktor atas ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang berkuasa. Terlepas dari itu semua kita patut berbangga bahwa, mengutip istilahnya MT. Zein, ''derajat integrasi sosial'' masyarakat kita semakin meningkat.

Dalam bukunya yang berjudul Soft Power: The Means to Success in World Politics (2004), Joseph SN Guru Besar Universitas Harvard berpendapat bahwa peran Ormas mempunyai kekuatan yang tidak boleh dianggap sebelah mata. Dia mencontohkan Greenpeace (lingkungan), Amnesty International (pelanggaran HAM), dan Transparency International (korupsi) sebagai lembaga yang bisa mempengaruhi politik kebijakan secara signifikan.

Begitu juga dengan gerakan mahasiswa yang mendedikasikan dirinya dalam wilayah ekstra parlementer. Mereka memiliki kekuatan besar dalam menciptakan tatanan baru kehidupan bangsa dan negara. Gerakan mahasiswa merupakan aset masa depan yang mempunyai posisi relatif “netral” dari ranah kekuasaan semata. Tetapi akan sangat fatal akibatnya, kalau gerakan mahasiswa menciderai gerakannya sendiri dengan tergiur money politic dan sejenisnya.

Menjelang Pemilu 2009, tantangan Ormas dalam menyikapi masyarakat dihadapkan pada sebuah shock therapy kebijakan yang ada. Pertama, masalah kesejahteraan yang tak kunjung menentu. Kedua, masalah moralitas dan arus informasi yang semakin liar.



1. Masalah Kesejahteraan (Wellbeing)



Dalam pidatonya tentang kondisi perekonomian Indonesia beberapa bulan yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melaporkan bahwa stabilitas ekonomi makro dan pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kemajuan. Tetapi faktanya kita melihat bahwa hal yang kontradiktif bila dibandingkan dengan jumlah pengangguran yang semakin meningkat. Apalagi dengan imbas krisis global yang terjadi di Amerika Serikat, pemerintah dianggap tidak bisa untuk melindungi rakyat terutama kaum dhuafa (petani, buruh, pedagang kaki lima, nelayan, dll).

Selama kepemimpinan SBY, kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM dilakukan selama dua kali. Pertama pada Oktober 2005 dengan kenaikan rata-rata 140 % dan yang kedua pada Mei 2008 dengan kenaikan sebesar 30 %. Selain itu, kebijakan konversi minyak tanah ke gas dan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) dinilai merugikan kepentingan rakyat.

Hal mendasar dari kebijakan-kebijakan tersebut disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan yang ada. Privatisasi perusahaan pemerintah yang dilakukan oleh pemerintahan Megawati tidak bisa dikembalikan lagi menjadi milik pemerintah. Kenapa? Karena lemahnya kapasitas kepemimpinan menjadi masalah substansial di negeri.


2. Masalah Moralitas dan Arus Informasi




Perhelatan tentang UU Pornografi yang baru disahkan kemarin mengundang pro-kontra di kalangan masyarakat. Kita mesti bersyukur dengan disahkannya UU tersebut, tetapi di sisi lain kita juga harus mengawal dan mengarahkan UU ini, terutama dalam proses penerapannya di lapangan.

Jargon di mana sekarang adalah era transisi demokrasi, dimanfaatkan oleh pihak sekuler, hedonis, materialistis untuk menyebarkan faham-faham mereka. Media massa terutama elektronik dan cetak yang didanai oleh pihak-pihak kapitalis menjadi corong propaganda mereka. Demokrasi di agung-agungkan seolah menjadi keputusan final dari semua pertanyaan yang ada. Maka tak ayal, bencana yang melanda negeri ini salah satunya mungkin disebabkan karena kesombongan manusia dalam menempatkan posisinya di hadapan sang penguasa alam, Allah SWT.

Dari berbagai tantangan dan kondisi yang ada, maka Ormas harus selalu dinamis dalam memandang perubahan yang terjadi di masyarakat. Mereka harus tetap berada dalam garda terdepan membela kepentingan rakyat. Dalam perkembangannya, strategi gerakan Ormas yang sering dilakukan diantaranya :


1. Gerakan Advokasi


Perkembangan Ormas pasca 1990-an menurut Meuthia Ganie-Rochman dalam bukunya yang berjudul “An Uphill Struggle: Advocacy NGOs under Soeharto’s New Order (2002) secara terang-terangan telah mengubah dunia politik tradisional dari sekadar lembaga-lembaga politik formal dan tradisional menjadi berorientasi pada kekuatan masyarakat. Dia menyebutnya sebagai Ormas atau LSM advokasi dan menjelaskan tentang beberapa isu politik yang biasa dlakukan adalah :

(1) kebebasan berorganisasi
(2) kebebasan berekspresi
(3) pemilu yang adil
(4) aturan hukum (rule of law)
(5) UU Antisubversi dan Haatzaai Artikelen
(6) UU yang membatasi ekspresi politik

Dalam kesimpulannya, Dia berpendapat bahwa strategi advokasi di Indonesia umumnya berkisar pada tiga hal, yaitu :

(1) memilih pengadilan sebagai arena politik
(2) menargetkan pada perubahan peraturan/UU
(3) menggali dukungan advokasi internasional

Sebagai bagian dari sektor ketiga, Ormas termasuk salah satu pilar menuju terciptanya Masyarakat Madani. Tujuan Ormas sebagai bagian dari pilar tersebut adalah :

(1)Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi
(2) Mempengaruhi kebijakan publik
(3) Sebagai sarana cheks and balances pemerintah
(4) Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah
(5) Mengembangkan SDM
(6) Sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat

Sumber : www.transparansi.or.id

Secara substansi saya melihat pada akhirnya stressing point yang akan dilakukan oleh Ormas gerakan mahasiswa lebih menekankan pada perubahan peraturan/UU. Adapun deal-deal politik dengan para stakeholder, pendidikan politik dengan seminar, demonstrasi, bakti sosial, dll pada hakikatnya adalah sarana bagaimana gagasan organisasi bisa mempengaruhi sampai merubah kebijakan yang ada, sedang ataupun yang akan dibahas.


Yang perlu diingat adalah tidak jarang wilayah sosial politik seringkali mempengaruhi idealisme seseorang, tidak terkecuali para aktivis Ormas. Hal yang bisa menjadi bumerang tatkala itu terjadi karena dampaknya bisa menyebabkan collaps-nya organisasi tersebut. Islam mengajarkan bagaimana kekuasaan bisa menjerat seseorang masuk ke dalam neraka apabila Dia menyalahgunakan amanahnya, tetapi sebaliknya kekuasaan yang dijalankan dengan penuh ketaqwaan kepada Allah SWT bisa menjadi sebab seseorang masuk ke dalam syurga
Gerakan Oposisi Ekstra Parlementer

Peran Ormas dalam proses pembangunan sistem politik menjelang Pemilu 2009 ini adalah memfokuskan gerakan pada masalah rekontruksi sistem politik sehingga tatanan baru yang dicita-citakan bisa terwujud. Hal ini cukup berbeda ketika zaman Orde Baru berkuasa yang lebih menekankan pada wilayah dekontruksi terhadap sistem politik yang ada.

Selain itu, hal yang harus diperhatikan oleh setiap Ormas adalah bagaimana modal sosial yang dimiliki berupa kepercayaan masyarakat, idealisme perjuangan terhadap kepentingan ekonomi rakyat kecil, dsb bisa terus ditingkatkan. Dan yang paling utama adalah fungsi kontrol terhadap laju pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.

Dalam beberapa kasus, peran Ormas sebagai partner pembangunan yang disepakati dalam bentuk kerjasama seringkali juga dilakukan. Khusus untuk Ormas gerakan mahasiswa, saya melihat fungsi kontrol justru hal yang harus menjadi kekuatan gerakan, dibanding dengan mengejar-ngejar proyek pemerintah untuk diajak kerjasama ataupun mendapatkan dana dari pemerintah. Alih-alih untuk membela kepentingan rakyat, dan apologi karena merasa ada hak setiap organisasi dalam kas pemerintah sehingga sayang kalau diberikan kepada Ormas-ormas gurem yang tidak jelas, tapi akhirnya membuat taring gerakan semakin tumpul dan terjebak dalam kungkungan materi semata.

Menurut Prof. Jim Ive dan DR. Frank Tesiriero dalam bukunya “Community Development : Community-Based Alternatives in an Age Globalisation (2006) disebutkan bahwa :

Pendekatan untuk pengembangan masyarakat yang berupaya memperkecil bantuan dana pemerintah mungkin dikecam karena ‘melepaskan apa yang sudah menjadi haknya’ yang memberi alasan bagi pemerintah untuk memotong dana sosial atas dasar bahwa program tersebut lebih baik dilaksanakan oleh masyarakat yang otonom, dan berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri.”

Dalam tulisan tersebut Dia juga berpendapat :

“Akan tetapi, perlu juga ditekankan bahwa jika masyarakat tidak menggantungkan pada pemerintah, Ia dalam posisi yang lebih kuat untuk mengkritisi pemerintah, untuk mengajukan alternatif yang progressif atau radikal, dan terbebas dari pengawasan pemerintah, sedangkan kelompok yang menerima penbiayaan dari pemerintah, mau tak mau harus mengkompromikan independensinya.”

Sebagai penutup bagian itu Dia menjelaskan bahwa visi pengembangan masyarakat pada dasarnya mencoba untuk memberikan sebuah alternatif akhir kepada pemerintah, maka setiap Ormas yang memfokuskan gerakannya pada visi ini perlu melepas batasan-batasan operasional dalam sistem pemerintah.

Pemerintah, baik yang kanan maupun yang kiri, jauh lebih takut terhadap aksi masyarakat yang independen, otonom, dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, bukan takut pada kelompok yang dapat dikontrol secara efektif melalui dukungan finansial pemerintah.”

Mengambil studi kasus pasca Pilkada atau Pemilu, mengutip pendapatnya Zaim Saidi, gerakan oposisi ekstra parlementer bisa melakukan peranannya seperti membentuk komite aksi politik untuk berbagai isu lokal maupun spesifik (isu anak, lingkungan, perempuan, dsb), memfasilitasi temu kota yang mempertemukan para politisi untuk membahas dan menyelesaikan isu-isu diatas, memantau program pemerintah yang sedang berjalan, pelobi bagi kepentingan publik, dll.



Penutup


Pada akhirnya revitalisasi Organisasi Masyarakat (Ormas) akan mengalami perkembangan yang signifikan tatkala berasal dari Ormas itu sendiri. Kesadaran akan arti perjuangan setidaknya akan menjadi spirit bagi langkah gerak Ormas ke depan. Tidak menjadi “ormas pelat merah” yang hanya terus menerus berada di bawah ketiak pemerintah ataupun kacung politikus yang hanya mengejar kekuasaan an sich. Ormas adalah salah satu pilar dalam pembangunan Indonesia. Mari konsolidasikan Ormas Indonesia dalam satu barisan, terus berjoeang membela kepentingan rakyat kecil. []



Wallahu’alam bishshawab.








Sumber rujukan :


Ganie Rochman, Meuthia. (2002). An Uphill Struggle: Advocacy NGOs under Soeharto’s New Order. Jakarta : UI Press

Eldin, Achyar. (2003). Dakwah Stratejik. Jakarta : Pustaka Tarbiatuna

SN, Joseph. (2004). Soft Power: The Means to Success in World Politics. Harvard University

Ife, Jim & Tesoriero, Frank. (2006). Community Development : Community-Based
Alternatives in an Age Globalisation. Australia : Pearson Education Australia

Kompas, 22 Januari 2003

Suara Merdeka, 27 Desember 2003

Lampung post, 7 Juli 2004

http://www.transparansi.or.id/

http://www.unisosdem.org/






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suasana Kuliah S3

Umumnya, orang akan membayangkan suasana perkuliahan program Doktoral atau Strata Tiga itu menyeramkan. Faktanya, justru suasananya lebih sa...