Think Globally, Act Locally dalam Pengelolaan SDA dan Lingkungan

Oleh: Ramlan Nugraha, Mahasiswa S2 Manajemen Pembangunan Daerah IPB


 Think Globally, Act Locally 

 Slogan “Think Globally, Act Locally” dapat diartikan berpikir global dan bertindak lokal. Beberapa literatur menyebutkan ungkapan ini pertama kali muncul dari ahli lingkungan Amerika Serikat yang juga pemenang Penghargaan Pulitzer yaitu RenĂ© Jules Dubos. Mereka meyakini bahwa dunia seharusnya memberikan perhatian penuh kepada permasalahan lingkungan global yang dapat mengancam keberlangsungan umat manusia. Untuk mengatasi hal tersebut, para pakar mengajak kepada setiap individu maupun negara untuk memikirkan dan bertindak secara aktif untuk mengurangi penyebab permasalahan tersebut. Dalam konteks sederhana kita dapat menyimpulkan bahwa persoalan global harus menjadi bagian tidak terpisahkan dalam setiap kegiatan kita dan upaya sederhana mengatasinya adalah dengan melakukan aksi di tempat kita masing-masing.

Slogan sederhana namun sarat makna ini telah menjadi perhatian bagi semua pihak, termasuk pemerintah Indonesia untuk terlibat aktif mendorong aksi perubahan iklim di tingkat internasional dan mengimplementasikannya melalui berbagai kebijakan di dalam negeri. Hal ini dibuktikan dengan komitmen Pemerintah untuk melaksanakan kesepakatan yang dihasilkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil pada tanggal 3 hingga 14 Juni 1992. Dalam konferensi tersebut dihasilkan komitmen internasional yang melibatkan berbagai negara, termasuk Indonesia untuk menandatangani United Nation Framework Convention on Climate Change. Komitmen ini berisikan pernyataan negara-negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca serta  komitmen dari negara-negara maju untuk menyediakan pendanaan dan alih teknologi kepada negara berkembang. Indonesia kemudian meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim tersebut melalui UU No. 6 Tahun 1994.

Upaya Indonesia untuk terlibat dalam pengurangan emisi global kemudian dilakukan secara berkelanjutan dengan mengesahkan berbagai kesepakatan internasional ke dalam peraturan seperti Protokol Kyoto melalui UU No. 17 Tahun 2004 dan Paris Agreement dengan UU No. 16 Tahun 2016. Ratifikasi yang dilakukan oleh Indonesia ke dalam berbagai peraturan secara substansi sejalan dengan mandat dari Undang-Undang Tahun 1945 terutama Pasal 28H. Pasal ini memberikan amanat konstitusi untuk menjaga dan melindungi bangsa menghadapi perubahan lingkungan dan sumberdaya alam  termasuk perubahan iklim global (Nurbaya, et al, 2019).

Salah satu langkah konkret menindaklanjuti hasil Konvensi Perubahan Iklim adalah dilakukannya kerja sama antara Pemerintah Indonesia dengan Norwegia. Pada tahun 2010, kedua negara bersepakat untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari deforestasi dan degradasi hutan yang ditetapkan melalui Letter of Intent (LoI).  Melalui kesepakatan ini, Pemerintah Norwegia akan memberikan dukungan pendanaan hingga US$ 1 miliar yang dihitung berdasarkan pengurangan emisi deforestasi serta degradasi hutan dan lahan gambut di Indonesia.  

Tindak lanjut kerja sama yang dilakukan melalui program Reducing emissions from deforestation and forest degradation plus (REDD+) ini telah berhasil menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Indonesia. Berdasarkan hasil verifikasi dari laporan yang dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait pencapaian kesiapan REDD yang dimuat dalam Emission Reduction Report for The Indonesia-Norway Partnership pada Februari 2020, Indonesia telah berhasil menurunkan emisi hingga 11,2 juta ton ekuivalen karbondioksida (CO2eq) selama tahun 2016-2017. Atas dasar itu, Pemerintah Norwegia akan membayar sebesar 56 juta dollar AS atau setara Rp 812 Miliar kepada Indonesia.  Beberapa kebijakan yang dilakukan pemerintah yang dianggap mendukung pencapaian penurunan emisi GRK ditunjukkan dalam tabel 1 dibawah ini.

 

No.

Faktor

Uraian

1

Moratorium izin pengelolaan hutan

Pemerintah melakukan moratorium terhadap penerbitan izin pengelolaan hutan alam primer dan lahan gambut sejak tahun 2011.

2

Melindungi lahan gambut

Membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) pada tahun 2016 dan melakukan berbagai upaya untuk melindungi area gambut.

3

Moratorium izin sawit

Dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit.

Tabel 1. Beberapa Kebijakan Pendukung Pencapaian Kesiapan REDD+

(Sumber: Ditjen PPI, diolah)

 

Upaya pengurangan emisi oleh Pemerintah Indonesia juga dilakukan secara sistematis dengan diterbitkannya UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Salah satu turunannya adalah Peraturan Presiden (Perpres) No. 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK). Dalam Perpres tersebut ditetapkan target nasional untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020 dari tingkat emisi BAU (Business as Usual/Tanpa rencana aksi) hingga 41% apabila ada dukungan pendanaan dari internasional. Komitmen ini kemudian diperkuat dengan adanya dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) pada tahun 2016 sebagai hasil kesepakatan Paris Agreement yang menetapkan target penurunan emisi secara berkala sebesar 29% (unconditional) hingga 41% (conditional dibandingkan BAU) pada tahun 2030.

Rencana aksi ini kemudian mengharuskan Kementerian/Lembaga untuk mengintegrasikan upaya penurunan emisi GRK ke dalam berbagai kegiatan khususnya di 5 (lima) sektor yaitu pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, pengelolaan limbah, dan kegiatan pendukung lainnya (Pasal 2 ayat 2 RAN GRK). Di tingkat daerah, Pemerintah Provinsi harus menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) GRK yang menjadi acuan dalam prioritas pembangunan daerah.

Komitmen Pemerintah untuk mengurangi emisi GRK terus berlanjut pada periode kedua Pemerintahan Jokowi. Pemerintah telah menetapkan strategi Pembangunan Rendah Karbon (PRK) sebagai upaya mengatasi perubahan iklim dan mengintegrasikannya ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Periode 2020-2024. Melalui stategi PRK diharapkan dapat mengatasi permasalahan lingkungan namun juga memperhatikan pertumbuhan ekonomi. Hasil kajian Bappenas menunjukkan dengan PRK  diharapkan dapat menurunkan emisi GRK sekitar 43% pada tahun 2030 dan menghasilkan Produk Domestik Bruto (PDB) rata-rata sebesar 6% per tahun  hingga tahun 2045. Untuk memperkuat hal itu, pemerintah berupaya mengawal implementasi RAN GRK, dan menetapkan instrumen seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) agar dapat diintegrasikan di dalam perencanaan daerah.

Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Slogan “Think Globally, Act Locally” telah cukup efektif dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di Indonesia.  Hal ini dibuktikan dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang terbukti dapat menurunkan emisi GRK.


Kritik terhadap kebijakan pembangunan rendah emisi saat ini

Ratifikasi Paris Agreement yang ditetapkan Pemerintah melalui UU No. 16 Tahun 2016 memberikan target penurunan emisi yang cukup ambisius bagi Indonesia yaitu sebesar 29% dengan upaya sendiri dan menjadi 41% (apabila ada kerja sama dengan Internasional dibandingkan BAU) pada tahun 2030. Untuk mengawal target kontribusi yang ditetapkan secara nasional tersebut, pemerintah melakukan beberapa pendekatan yang salah satunya adalah melakukan kerja sama/kemitraan internasional untuk mendapatkan dukungan pendanaan seperti yang dilakukan dengan Pemerintah Norwegia.

Dalam implementasinya, sejak kerjasama digulirkan tahun 2010 hingga sekarang, pembayaran atas kompensasi pengurangan emisi (result based payment) dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut baru diberikan sebesar 54 juta dollar US atau setara Rp 840 Miliar (kurs rupiah Rp 14.500). Jumlah ini masih terbilang kecil, apabila dilihat dari komitmen Pemerintah Norwegia yang akan memberikan pendanaan hingga 1 Miliar dollar US. Meski demikian, ekspektasi Pemerintah Indonesia terbilang cukup besar terkait pendanaan luar negeri ini. Hal ini dibuktikan dengan dibentuknya lembaga baru dibawah Kementerian Keuangan yang bernama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Pembentukan lembaga ini diatur dalam Perpres No. 77 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup. Dalam prosesnya, meski sudah terbentuk namun secara kelembagaan BPDLH ini belum berjalan dengan optimal.

Kritik atas ketergantungan kepada bantuan luar negeri ini cukup relevan mengingat pengalaman Indonesia ketika terjadi bencana tsunami Aceh yang membentuk Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR). Badan ini dibentuk untuk menampung dan menyalurkan dana komitmen dari berbagai negara. Namun dalam implementasinya, dana yang banyak digunakan oleh BRR berasal dari APBN.

Di sisi lain, target pemerintah untuk menurunkan emisi melalui pembangunan rendah karbon belum secara optimal diikuti dengan kesiapan anggaran dalam APBN. Sebagai contoh adalah alokasi anggaran untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim tahun 2017 sebesar Rp 81,7 Triliun dalam APBN hanya mencukupi 30-40% biaya untuk pencapaian target NDC (Parjiono,2018). Jumlah ini masih jauh dari anggaran yang harus disediakan oleh Pemerintah. Menurut Bappenas, untuk mencapai target dalam RAN/RAD GRK dibutuhkan pendanaan sebesar Rp 225,5 trilyun untuk kegiatan inti dan 18,5 triliun untuk kegiatan pendukung.

Ketersediaan anggaran perubahan iklim menjadi satu hal yang penting mengingat akan berdampak signifikan pada pencapaian target penurunan emisi. Berdasarkan data Mitigation Fiscal Framework (MFF) Fase I dari Kementerian Keuangan, anggaran mitigasi RAN GRK Tahun 2012 sebesar 15,9 triliun yang memfokuskan pada mitigasi di sektor kehutanan, lahan gambut, energi dan transportasi (mencakup 93% target penurunan emisi nasional), apabila jumlah anggaran tersebut dianggarkan sama pada tahun berikutnya maka penurunan emisi yang dicapai hanya 15% dari target yang ditetapkan yaitu 767 mtCO2e.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan target penurunan emisi yang ditetapkan dalam NDC, Pemerintah Indonesia harus memiliki strategi dan mekanisme pendanaan pembangunan rendah karbon yang tidak hanya mengandalkan dari komitmen negara maju. Diperlukan berbagai alternatif pendanaan untuk membiayai aksi perubahan iklim di Indonesia.

 

Strategi Pembangunan Daerah: Mengintegrasikan Aksi Perubahan Iklim dalam RPJMD

Untuk mewujudkan target penurunan emisi di level daerah, pemerintah telah memberikan mandat untuk menyusun dokumen Rencana Aksi Daerah (RAD) GRK. Dokumen ini mengacu kepada RAN GRK dan dokumen perencanaan daerah seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP). Bagi Pemda yang belum menyusun dokumen GRK, maka perlu didorong untuk segera menyelesaikannya. Hal ini mengingat di dalam dokumen RAD GRK terdapat berbagai kegiatan mitigasi untuk menurunkan emisi di daerah.

Dalam konteks ini, menjadi penting ketika perencanaan daerah berupa dokumen RPJMD telah mengintegrasikan upaya penurunan emisi ke dalam perencanaan daerahnya. Hal ini akan menjadi dasar bagi pemda untuk menyusun Rencana Kerja (Renja) tahunan yang menjadi acuan dari perangkat daerah untuk menyusun Rencana Strategis (Renstra). Turunan dari Renja dan Renstra ini yang kemudian akan menjadi acuan untuk menyusun rencana kegiatan dan anggaran (RKA) yang mendukung penurunan emisi.

Salah satu contoh integrasi antara upaya perubahan iklim dengan perencanaan daerah adalah di Provinsi Kalimantan Timur. Komitmen pemerintah daerah untuk mendukung pengurangan emisi sudah berjalan sejak tahun 2010 dimana Gubernur Awang Faroek Ishak meluncurkan strategi Kalimantan Timur Hijau (Green East Kalimantan) dalam pembangunan daerah. Inisiatif ini bertujuan untuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam melalui berbagai inisiatif multistakeholder.

Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini telah berhasil menginisiasi adanya keterlibatan multistakeholder dari pemerintah, swasta dan NGO di tingkat lokal maupun internasional dalam kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Kalimantan Timur. Keterlibatan multistakeholder ini menjadi salah satu kunci dalam membuka peluang adanya alternatif pembiayaan yang selama menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menjalankan aksi perubahan iklim.

Beberapa kegiatan yang dilakukan Provinsi dalam kaitan dengan aksi perubahan iklim adalah 1) Menerapkan program pengurangan emisi karbon untuk skema FCPF; 2) Memperkuat upaya perhutanan sosial dengan menargetkan pemberian ijin akses kelola hutan sosial seluas 660 ribu ha, 3) Memperkuat 21 KPH, 40 Memperkuat pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensisal (KEE), 5) Mengembangkan kemitraan untuk pengelolaan wilayah sungai Delta Mahakam, 6) Mendukung program karbon hutan Berau, dan 7) Mengembangkan program perkebunan berkelanjutan. Intervensi kegiatan yang dilakukan dapat dilihat dalam tabel 2 dibawah ini.

  

Intervensi Kegiatan

Organisasi Pelaksana

Penerima Manfaat

Pendanaan

1. Program perhutanan sosial

-Pengelolaan hutan rakyat

Pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten, Pokja Perhutanan Sosial

Komunitas lokal, masyarakat adat, sektor kehutanan swasta, dan NGO

APBN dan APBD Provinsi

2. Program Kampung Iklim

-Kegiatan Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di tingkat desa)

Pemerintah Pusat,Provinsi/Kab, Swasta

Komunitas lokal, swasta, NGO, Universitas, Pemda

APBN,APBD,Organisasi nirlaba lokal,NGO internasional

3.Moratorium penebangan kayu, pertambangan dan perkebunan kelapa sawit

-Moratorium atas seluruh izin baru dan tinjauan kepatuhan pada izin yang telah ada).

Pemerintah Provinsi dan Kabupaten

Pemegang ijin yang ada

APBD Provinsi

4.Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)

- Pengarusutamaan REDD+ dan mitigasi perubahan iklim

Pemerintah Provinsi dan Kabupaten

Provinsi, swasta, masyarakat, komunitas lokal, masy adat

APBN,APBD Prov,Organisasi nirlaba lokal,NGO lokal dan internasional

 Tabel 2. Intervensi Kegiatan Perubahan Iklim di Kalimantan Timur

Sumber: Komalasari (2018)


Penulis berpendapat melalui integrasi upaya perubahan iklim dalam RPJMD menjadi dasar atau cantolan bagi pemerintah, swasta maupun NGO untuk terlibat dalam aksi di daerah. Hal yang terpenting adalah bagaimana komitmen kepala daerah untuk membuka diri dalam bekerja sama dengan berbagai pihak.

Kasus di Kalimantan Timur ini menjadi contoh dimana integrasi melalui RPJMD membuka banyak pihak untuk terlibat dan berpartisipasi dalam upaya aksi perubahan iklim. Pada periode Gubernur Isran Noor saat ini juga komitmen tersebut dilanjutkan melalui slogan Kaltim Hijau dalam RPJMD tahun 2019-2024.

 ***


Daftar Pustaka

 

Agro Indonesia. BPDLH Ikut Kelola Dana Reboisasi. Diakses pada 15 Agustus 2020, dari http://agroindonesia.co.id/2019/01/bpdlh-ikut-kelola-dana-reboisasi/

Arumingtyas, Lusia. RI- Norwegia akan Perkuat Aksi Iklim, Dana US$56 Juta Segera Cair. Diakses pada 15 Agustus 2020, dari https://www.mongabay.co.id/2020/05/31/ri-norwegia-akan-perkuat-aksi-iklim-dana-us56-juta-segera-cair/

Astana, Satria. 2020. Membangkitkan Sektor Riil Kehutanan di Era Pembangunan Rendah Emisi (Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Ekonomi Kehutanan dan Kebijakan Kehutanan). Bogor: Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Berliani, Hasbi, et al. 2016. Penguatan Kebijakan Moratorium Perizinan di Hutan Alam Primer. Partnership Policy Paper No. 8/2016. Jakarta: Kemitraan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2020. Emission Reduction Report for The Indonesia-Norway Partnership. Jakarta: Ditjen PPI.

Kementerian PPN/Bappenas RI. 2019. Pembangunan Rendah Karbon: Pergeseran Paradigma Menuju Ekonomi Hijau di Indonesia. Ringkasan bagi Pembuat Kebijakan. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

Kolopaking, L. M. 2014. Community-Based Development Management for Climate Change Adaptation and Mitigation Activities in Indonesia. Global Journal of Engineering Science and Research Management, Vol. 1 (6): 1-8.

Kolopaking, L. M. 2020. Materi Kuliah Manajemen Sumberdaya Alam dan Lingkungan.  IPB: Manajemen Pembangunan Daerah.

Komalasari M, et al. 2018. Kalimantan Timur, Indonesia: Keadaan Keberlanjutan Yurisdiksional. Bogor, Indonesia: CIFOR

Prihatno, Joko. 2018. Kebijakan Satu Data GRK dalam Implementasi NDC. Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Mitchell, B, et al. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nurbaya, S., N. Masripatin, S. Adiwibowo, Y. Sugandi, dan T. Reuter. 2019. Perubahan Iklim: Krisis Sosial Ekologis dan Keadilan Iklim. Trilogi Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim. Penerbit Buku Kompas: Jakarta.

Nurrochmat, D.R. et al. 2016. Kebijakan Pembangunan Kehutanan dan Lingkungan Teori dan Implementasi. Bogor: IPB Press.

Republik Indonesia, Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup.

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim).

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Republik Indonesia, Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional.

Ovier, Asni. Pasar Karbon Potensial sebagai Sumber Pendanaan Perubahan Iklim. Diakses pada 15 Agustus 2020, dari https://www.beritasatu.com/nasional/504716-pasar-karbon-potensial-sebagai-sumber-pendanaan-perubahan-iklim

SciHi Blog. René Dubos and the Discovery of Antibiotics. Diakses pada 15 Agustus 2020, dari http://scihi.org/rene-dubos-antibiotics/

Widiadi, Pietra dkk. 2017. Pedoman Penandaan Anggaran Hijau (Green Budget Tagging) di Daerah. WWF-Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suasana Kuliah S3

Umumnya, orang akan membayangkan suasana perkuliahan program Doktoral atau Strata Tiga itu menyeramkan. Faktanya, justru suasananya lebih sa...