Prosesi Politik Pilwalkot Bandung

Link terkait :
Tahapan Pilwakot Bandung 2013
Daftar Balon Walikota Bandung 2013



Politik ibarat Topeng

Dunia politik kian menampakkan wajah aslinya. Bukan hanya sebagian orang memandang politik ibarat hutan rimba, tapi ternyata para penghuninya juga mempunyai watak penghuni rimba. Fenomena menjelang peralihan kekuasaan layaknya pertarungan jawara rimba. Saling terkam dan tanpa pandang bulu. Asalkan bisa melancarkan jalan menuju singgasana, apapun pasti ditempuh.

Prosesi politik menjelang Pemilihan Walikota Bandung tahun ini menyampaikan isyarat jelas bagi kehidupan berdemokrasi kita. Politik kian dipenuhi oleh para mafia yang saling berburu wilayah kekuasaan. Layaknya candu, menghiptonis para pemakainya demi sebuah kesenangan sesaat. Para mafia berdasi, mengadu nasib di tengah prahara politik yang kian brutal. Mirip dunia tanpa batas-nya Kenichi Ohmae, menginspirasi orang untuk melakukan hal tanpa batas.


Penulis menyimak dengan seksama bagaimana para politisi Bandung memainkan perannya menjelang Pilwalkot. Mari kita lihat bagaimana prosesi itu mereka mainkan :

  •  Sekda Kota Bandung Edi Siswadi yang mencalonkan diri sebagai Walikota akhirnya berpasangan dengan Erwan Setiawan, Ketua DPRD Kota Bandung yang juga Ketua DPC Partai Demokrat Kota Bandung. Erwan akhirnya rela menjadi Cawalkot. Tak lama kemudian, Asep Dedi Ketua Partai Golkar Kota Bandung menyatakan kekecewaannya kepada Edi Siswadi. Edi dianggap berkhianat karena melanggar kesepakatan yang telah dibuat dengan Partai Golkar. Sebelumnya, Edi akan berpasangan dengannya. Asep kontan marah besar, berbagai surat kabar menayangkan begitu geramnya Asep.
"Saya dikhianati dan dizalimi oleh seorang Edi Siswadi yang juga kader Golkar yang mengundurkan diri dari pencalonan Wali Kota tiga hari jelang penutupan pendaftaran," ujar Asep di rumah Ketua Tim Pemenangan Pilwalkot Bandung, Jhony Hidayat, Kamis (14/3/2013). Sumber : http://www.tribunnews.com/2013/03/15/golkar-bandung-merasa-dikhianati-edisis).

  • Ormas onderbouw Golkar yaitu AMS, langsung memecat Edi Siswadi dari posisi sebagai ketua Dewan Penasehat AMS. "Masih calon sudah ingkar janji. Makanya kita antisipasi, lebih baik putus dengan AMS," tandas Sekjen AMS Pusat Noeri Firman. Sumber : http://m.inilah.com/read/detail/1968152/buntut-hengkang-edi-siswadi-dipecat-dari-ams. Edi pun dianggap tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai Sunda, nyaeta henteu patuh kanu jangji. Edi Siswadi pun menampik bahwa belum ada kesepakatan final antara dirinya dengan Partai Golkar.  

  •  Pasca momen itu, kata-kata berkhianat, pembohong, ingkar janji,  dll membanjiri berbagai surat kabar Bandung. Tak puas sampai di situ, pihak Golkar Bandung memaknai itu sebagai pendzaliman. Anda bisa bayangkan, bagaimana kata-kata tersebut keluar dari mulut ketua partai dan dikutip oleh media. Jujur, sampai muak saya membacanya. Terlepas dari siapa yang benar namun para politisi tersebut lupa kalau dirinya sedang dilihat oleh masyarakat. Mereka seakan tidak ingat dengan bahasa yang baik. Lupa akan kesantunan dalam mengemukakan pendapat. Lupa akan segalanya!

Sudah lama kita dihadapkan pada watak-watak politisi yang tidak santun. Mereka berlomba-lomba mengatasnamakan rakyat, namun pada hakikatnya untuk obsesi kekuasaan pribadi. Kekuasaan tidak lagi berada di tangan, tidak lagi menjadi sarana melakukan kebaikan. Namun sudah menjadi Tuhan mereka, sesuatu yang apapun itu harus diraih. Bagaimanapun caranya, karena itu dianggap satu-satunya pelindung. Masya Allah..


Poin yang digarisbawahi oleh penulis adalah :
Menjelang peralihan kekuasaan seperti Pilkada, para politisi saling bertarung mengatasnamakan rakyat. Namun yang sebenarnya adalah sebaliknya. Rakyat hanyalah tameng, substansinya adalah bagaimana kepentingan pribadi bisa menjadi yang utama. Rakyat harus berhati-hati dalam hal ini. Jangan terjebak dengan pepesan kosong para politisi yang menawarkan perubahan. Secara objektif, peluang perubahan tersebut akan nampak apabila kita melihat prosesi politik yang terjadi. Mana mungkin janji perubahan ke arah yang lebih baik akan diwujudkan tatkala proses politik di awal sudah mencederai etika politik itu sendiri.

Proses politik selanjutnya jelang Pilwalkot adalah tarik ulur partai dengan kandidat yang akan diusung. Tarik ulur meliputi siapa orangnya, apa yang diberikan kepada partai, apa yang ditawarkan kepada publik, dan seberapa besar komitmennya mendukung partai apabila menjadi bagian dari partai pendukung? Selain itu kita akan berbicara tentang politik dinasti. Sebagaimana Indramayu dan Cimahi, Kota Bandung pun seolah tak mau ketinggalan tren. Popularitas dianggap sebagai kartu AS untuk meraup suara. Lantas, bagaimana peluang "keturunan dinasti" ini di tengah kultur masyarakat Bandung yang dianggap lebih intelek? 

Kita akan bahas pada tulisan selanjutnya..


RAMLAN NUGRAHA

Baca juga :
Memfasilitasi Organisasi Sipil di Papua Barat
Berkontribusi di agenda Kementerian PAN dan RB
Belajar lagi di TBI 

Suasana Kuliah S3

Umumnya, orang akan membayangkan suasana perkuliahan program Doktoral atau Strata Tiga itu menyeramkan. Faktanya, justru suasananya lebih sa...