Cililin Berduka. Bencana yang terjadi Senin lalu (23/3), telah menelan 12
orang tewas dan 7 orang masih dalam pencarian. Penyebab terjadinya
bencana ini sangat berkaitan dengan aktivitas manusia dalam menjaga
kelestarian hutannya.
Penulis
yang juga berdomisili di Kabupaten Bandung Barat, tepatnya di Kecamatan
Cihampelas, sekitar 60 Km dari lokasi kejadian di Desa Mukapayung,
merasa turut prihatin atas bencana tersebut. Bagi penulis, ajang ini
seakan menjadi curhat apa sebenarnya yang terjadi dengan hutan di
Bandung Barat? Bagaimana peran dari semua pihak untuk menjaga
kelestarian hutannya ?
Penyebab utama longsor adalah curah hujan dan pengaruh aktivitas manusia.. (DR. Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB)
Memang
betul, hampir tiap hari daerah kami selalu diguyur hujan. Entah siang
atau sore, hujan selalu dibarengi petir dan angin kencang. Seminggu
lalu, saya dibuat nyerah dan akhirnya terbaring seminggu akibat
tiap hari diguyur hujan. Tidak ada perhatian khusus dari pemerintah
daerah mengenai kondisi ini. Apakah itu pemberitahuan melalui poster di
desa, ataupun di radio lokal. Tidak ada peringatan apapun, seolah semua
berjalan seperti biasanya.
Pada
gambar di atas, kita bisa melihat betapa pemukiman warga berada di area
yang cukup berbahaya. Seperti yang disebutkan dalam rilis BNPB,
pemukiman tersebut berada di kemiringan 40-50 derajat. Lantas
pertanyaannya, apakah ada peringatan bahaya dari pemerintah setempat?
Seperti pengalaman sebelumnya, peringatan dari pemerintah setempat
hanyalah formalitas. Kalaulah alasannya adalah warga yang tetap tidak
mau meninggalkan lokasi, faktanya adalah karena mereka belum yakin
pemerintah mempunyai rencana serius untuk melakukan relokasi dan
mencarikan mereka lapangan pekerjaan.
Dalam
beberapa pemberitaan, kepala pelaksana BNPB Bandung Barat pernah
mengatakan daerah lokasi longsor tersebut merupakan rawan bencana.
Sebelumnya pihaknya telah membagikan peta rawan bencana hingga ke
pelosok desa. Tadi pagi sebelum kerja, saya pun menyempatkan untuk
melihat mading di desa. Kebetulan letaknya tidak jauh dari rumah.
Ternyata di mading memang ada peta yang cukup besar, tapi itu peta
penyebaran kerajaan-kerajaan Islam, Hindu dan Budha di Indonesia. "Ahh, ini desa atau tempat kursus buat anak persiapan UN," pikirku dalam hati.
Sebagian besar perbukitan dibudidayakan menjadi lahan pertanian tanaman semusim. Nyaris tidak ada hutan sama sekali. (BNPB)
Saya ingin menunjukkan kondisi dimana saya tinggal sekarang. Rumah yang baru saya tempati beberapa minggu ini, berada di salah satu perumahan di Desa Pataruman, Cihampelas Bandung Barat. Di sekelilingnya kita bisa melihat bukit-bukit yang telah gundul. Pembabatan hutan di perbukitan tidak hanya karena lahan pertanian musiman, tapi juga penggalian pasir, perumahan, dan lainnya. Aktivitas yang sesungguhnya lebih banyak untuk kepentingan pengusaha daripada masyarakat biasa.
View depan perumahan :
Bagian tengah bukit sudah mulai habis. Kalau terus dibiarkan, entah berapa lama lagi bukit tersebut bertahan. Tiap kali saya mengajak anak kami yang balita jalan-jalan sore, dia sering bertanya sambil menunjuk, "Itu gunung,gunung..", ujarnya. Dengan kata-kata yang sesuai anak seusianya kami coba jelaskan sebisa mungkin tentang apa itu gunung,bukit dan lainnya. Walau kadang khawatir karena ia terus menerus bermain dengan pemandangan bukit yang gundul, saya berdoa semoga kelak ia menyadari bahwa kondisi lingkungannya harus tetap dilestarikan.
View Belakang Perumahan :
Bukit sebelah
kiri hampir setengahnya gundul, di tengah Alhamdulillah masih hijau,
dan kalau kita menengok sebelahnya, habislah kawasan hijau kita. Gundul
tanpa sisa. Kalau anda mendekat, tentu dengan jelas akan melihat
bagaimana truk-truk khusus tambang lalu lalang menggali setiap jengkal
tanah. Gambar yang saya tampilkan sedikit buram karena spesifikasi Hp
saya yang kurang mumpuni, saya mohon maaf. Namun dengan sangat menyesal,
moratorium hanyalah omong kosong. Tidak ada istilah kelestarian hutan,
jika pemerintah daerah tidak peduli dengan hal tersebut.
Kita
mungkin perlu mengkaji rencana pembangunan daerah-daerah otonom baru
hasil pemekaran dalam hal pelestariaan dan pemanfaatan potensi hutannya.
Pasca bencana longsor Cililin, sudah selayaknya pemerintah Provinsi
Jawa Barat mengevaluasi rencana pembangunan Kabupaten Bandung Barat.
Kenapa hutan di perbukitan yang masuk daerah rawan bencana masih
berpenghuni ? Dan kenapa pula banyak area hutan di perbukitan semakin
gundul akibat ulah para petambang ? Evaluasi ini yang perlu juga
dilakukan selain mengurus para pengungsi.
Penulis
hanya berpendapat, kebijakan otonomi daerah yang begitu besar bagi
pemerintah daerah bisa menjadi bumerang kalau tidak dibarengi dengan
kepemimpinan yang kuat. Namun akan menjadi hal positif kalau potensi
tersebut digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Kalau itu
tidak dilaksanakan, maka yang akan jadi korban adalah masyarakat.
Seperti yang dialami oleh korban longsor Cililin.
Tahun
2010 lalu, wilayah ini sempat terjadi longsor, namun tidak menimbulkan
korban jiwa. Pihaknya pun mengimbau kepada warga agar terus waspada akan
bencana longsor susulan. Mengingat, kondisi tanah yang masih labil.
(BPBD Bandung)
Saya tidak habis pikir dibuatnya. Rumah kades saja bisa 'digusur' oleh ulah pengusaha yang katanya sudah mendapat ijin dari pemerintah daerah. Kalaulah kita berpendapat, rumah kades saja bisa seperti itu, apalagi rumah warga biasa dan tanah yang tidak berpenghuni?
Foto di atas
saya ambil saat menghadiri peringatan satu tahun Kecamatan Saguling,
Bandung Barat. Acara tersebut juga dihadiri oleh Bupati Abu Bakar. Kita
bisa lihat bukit-bukit di atasnya sudah mulai gundul. Waktu itu, bapak
Bupati menyampaikan sambutan dan koitmennya untuk melakukan pembangunan
di daerah tersebut. Dan saya baru sadar, ternyata Bupati bicara
pembangunan dengan latar bukit yang semakin gundul. Ironis!
Peran
pemerintah daerah sangat signifikan dalam mengeluarkan kebijakan
pelestarian hutan. Moratorium hutan hanya akan menjadi wacana kalau
tidak didukung oleh semua pihak, termasuk pemimpin yang ada di daerah.
Kalaulah pemerintah hanya bisa menyampaikan 'Waspada dan Waspada", saya
kira semua orang juga bisa. Kita mengharapkan adanya tindakan tegas dari
pemerintah dibarengi dengan langkah konkret dalam menjaga kelestarian
hutan. Dalam kasus longsor Cililin, jangan sampai pemerintah daerah bisa
berwacana. Mereka nampak menyelamatkan warga, namun pada hakikatnya
para pembalak hutan diijinkan, pengusaha galian pasir bebas beroperasi,
dan usaha reibosasi hanya formalitas. Sudah saatnya moratorium
dijalankan tanpa basa-basi, karena kalau tidak, rakyat kembali jadi
korban!
RAMLAN NUGRAHA
Bandung Barat, 28/3/13