Bandung, 16 Februari 2010
Kesederhanaan. Itulah hikmah dibalik film berjudul Bengkel Bang Jun karya Chaerul Umam. Malam itu (selasa, 16/02) secara tidak sengaja saya melihat film ini di TVRI Bandung. Luar biasa, setengah jam lebih saya menonton acara tersebut, memberikan pelajaran bahwa siapa bilang produk dalam negeri tidak bisa bersaing dengan film-film Hollywood ataupun Bollywood. Hehe..
Orang mengenal Chaerul Umam sebagai sosok sutradara yang kharismatik. Karya-karya yang dibuatnya selalu penuh dengan muatan dakwah. Tidak terkecuali dengan film ini. Diakui memang, acara yang ditayangkan di TVRI kurang memiliki rating dalam perfilman Indonesia. Hal ini wajar karena standar perfilman Indonesia masih berorientasi pada berapa jumlah penontonnya, bukan pada kualitas film tersebut. Walaupun ada korelasi tentunya.
Selain bertemakan kesederhanaan, film ini dibangun dengan semangat cinta tanah air. Bukan berarti ketika kita berbicara produk dalam negeri, maka semua pemain filmnya adalah lokal, bukan itu tentunya. Tetapi substansi dari film ini adalah membuat spirit kita sebagai warga negara menjadi meningkat. Bangga sebagai warga negara, tidak pesimis dengan keadaan sendiri, dan terus berprestasi dalam segala hal. Dan satu hal tentunya, karakter khas budaya negeri ini menjadi tolok ukur yang mendasari ide cerita dari film ini.
Episode dari film ini dimulai dari seorang gadis berusia 20 tahunan yang gagal berangkat ke luar negeri. Gadis ini anak bandar angkot yang kaya raya di kampungnya. Karena alasan tertentu, tiba-tiba bapaknya menyarankan gadis itu untuk tidak jadi berangkat ke luar negeri. Keinginan sang gadis untuk studi ke luar negeri pun batal karena tidak mendapat ijin dari bapaknya.
Selidik punya selidik, ternyata bandar angkot ini dekat dengan seorang montir AC. Bang Jun namanya. Bang Jun inilah yang menyarankan bapak si gadis untuk mengurungkan niat anaknya berangkat ke luar negeri. Tengah cerita, si gadis bersama seorang temannya pergi melabrak rumah Bang Jun. Dengan penuh emosi dia pun mengetuk pintu rumah Bang Jun, tetapi sayang Bang Jun tidak ada. Di rumah itu hanya ada istri dan seorang anak perempuannya.
Sang gadis langsung memaki-maki istrinya Bang Jun. Dia menyalahkan Bang Jun karena memprovokasi bapaknya supaya dia tidak studi ke luar negeri. “Wanita tidak usah sekolah tinggi-tinggi,” demikian sindiran sang gadis dengan nada penuh emosi. Istri Bang Jun yang berkerudung tersebut diam sebentar, karena belum secara detail tahu permasalahannya. Tentang bapaknya sang gadis, suaminya pernah bercerita tentang hubungan pertemanan diantara mereka.
Cukup lama sang gadis memaki-maki istrinya Bang Jun. Dia mengatakan bahwa, “Lihatlah mba. Apakah Mba tidak menderita hanya diam di rumah saja. Menjadi ibu rumah tangga, mengurus suami dan anak-anak. Tidakkah itu mengekang kehidupan mba?, ujar sang gadis. “Wanita jangan mau diperlakukan seperti itu. Kita harus merdeka. Jangan mau dibawah tekanan laki-laki saja”, temannya yang duduk disamping menambahkan penuh semangat. Terlihat, semangat kesetaraan, emansipasi dan feminisme menjadi tema besar dari perkataan kedua gadis ini.
Istrinya Bang Jun menanggapinya dengan sabar, “De, saya kurang mengetahui tentang detail permasalahannya. Tapi saya berpendapat bahwa bukannya mereka melarang ade untuk belajar ke luar negeri. Tetapi, kalaupun di dalam negeri masih ada kenapa harus pergi ke luar. Nah baru kalau jurusan yang akan ditempuh tidak ada di dalam negeri dan spesifik sifatnya, maka silahkan ke luar negeri. Itu hanya pendapat saya saja, karena sangat sayang, uang untuk berangkat ke luar negeri sangat besar. Kalau perencanaannya kurang matang, akan seperti liburan saja. Toh di dalam negeri pun masih banyak yang berkualitas, tidak mesti ke luar” balasnya.
Diskusi diantara mereka terus berlangsung:
Sang gadis : “Mba sendiri sekolahnya tamatan apa?”
Istri Bang Jun : “Sama seperti sekolahnya ade”
Sang gadis : “Di Akademi sekretaris. Sampai tamat penuh?”.
Istri Bang Jun : “Iya. Sampai tamat.”
Sang gadis : (Sang gadis cukup kaget, karena tak disangka wanita lugu yang dihadapannya adalah satu almamater dengan dia. Sekolahnya tamat penuh lagi. Padahal dia sendiri tidak lulus dari akademi tersebut lantaran suatu hal).
Sang gadis menunduk malu. Dia yang tadi memaki-maki diam seribu bahasa. Kuliah singkatnya tentang wanita harus sekolah tinggi, emansipasi,dll ternyata berbalik sendiri kepada dirinya. Istri Bang Jun, yang disangkanya wanita lugu tidak berpendidikan ternyata salah besar. Dia sudah meraih gelar di akademi sekretaris itu. Dia pun mengatakan bahwa pimpinan dan para pengajar di akademi tersebut adalah teman-temannya. Sering sekali dia ditawari untuk mengajar di sana, tetapi selalu ditolaknya. Dengan alasan, sibuk mengurus suami dan mendidik anak-anak. Sang gadis kecewa, dan akhirnya dia pun pulang dengan penuh rasa malu.
…
(Bersambung karena harus ngerjain tugas akhir dulu.Salam.)
Catatan ringan dari setiap perjalanan. Sekedar mengasah pena agar tak hilang ditelan waktu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Suasana Kuliah S3
Umumnya, orang akan membayangkan suasana perkuliahan program Doktoral atau Strata Tiga itu menyeramkan. Faktanya, justru suasananya lebih sa...
-
Bandung, 1 Maret 2010 [ketika perjalanan adalah energi untuk terus bergerak] “ Singsingkan lengan baju, hadapi lawan,..dst ”, bagian lagu in...
-
Umumnya, orang akan membayangkan suasana perkuliahan program Doktoral atau Strata Tiga itu menyeramkan. Faktanya, justru suasananya lebih sa...
-
Jum’at, 12 Februari 2010 Ditulis sebagai pengalaman pribadi waktu mengikuti Konferensi Nasional Anggaran Daerah pada 1-5 Februari di Hotel P...
-
Rabu, 31 Maret 2010 Tepat di akhir bulan ini saya mendaftarkan diri untuk mengikuti tes PTESOL (Profiency Test of English to Speakers of Oth...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar