Penulis: Ramlan Nugraha
Pemilihan Presiden kali ini diikuti oleh dua pasang capres dan cawapres. Awalnya para pengamat menilai akan muncul tiga atau empat pasangan, tapi akhirnya konstelasi politik menjawab lain. Pilpres hanya diikuti dua pasang capres-cawapres. Setidaknya biaya penyelenggaraan Pilpres bisa menghemat ratusan miliar. Anggaran tersebut kiranya bisa kita alokasikan untuk membangun jalan atau sarana pendidikan.
Dengan
dua pasang calon tentu tidak hanya menghemat anggaran yang ada di KPU. Biaya
untuk honor penyelenggara pemilu di seluruh daerah di Indonesia yang konon jumlahnya
miliaran bisa kita pangkas. Ukuran surat suara dan tinta pun bisa disesuaikan
sehingga pastinya akan mengurangi biaya lagi. Dampak lain bisa jadi peredaran money politics bisa kita ditekan.
Penghematan
anggaran merupakan dampak dari konstelasi politik pilpres kali ini. Saya berpendapat,
para elit politik kita mungkin sudah mulai sadar bahwa negara ini perlu banyak akan membuat ‘efisien’ kehidupan berdemokrasi
kita. Efisien dalam anggaran, efisien dalam membuat perencanaan dan aturan, dan
yang terpenting bagaimana para penegak hukum dan pengawas pemilu lebih fokus
dalam mengawal proses pilpres ini. Selain itu, bukankah dengan 2 pasang calon,
ajang demokrasi kita sudah ‘on the track’
mencontoh Amerika Serikat, negara rujukan para pengamat politik di republik
ini. Namun rupanya, siapa dan berapapun calon yang maju, masyarakat kita belum
sepenuhnya siap untuk memahami substansi demokrasi yang sesungguhnya.
Ketidaksiapan
dalam mengikuti ajang demokrasi ini terlihat dengan semakin maraknya kampanye
yang justru mengarah pada perbuatan fitnah. Berbagai propaganda dari tim
sukses, para pendukung sampai simpatisan memenuhi ruang publik di media cetak
dan elektronik. ‘Perang’ kampanye seakan tak terbendung. Informasi datang
setiap saat dan silih berganti. Media semakin dijejali oleh informasi yang
sudah tak terkendali. Tepat kiranya Seorang pakar komunikasi massa Jean
Baudrillard mengatakan, “Kita berada
dalam semesta yang begitu melimpah informasi, tapi begitu hampa makna”. pernyataan
tersebut kita analogikan dengan kondisi saat ini dimana semakin maraknya
kampanye capres-cawapres yang cenderung negatif dan saling menjatuhkan. Tak
ayal lagi, keberlimpahan informasi yang ada seolah hampa tanpa makna.
Cendekiawan
muslim Syafei Maarif sampai berpendapat, black
campaign yang banyak mengisi kampanye capres-cawapres mencirikan peradaban
yang buruk. Hal ini memang memalukan. Sebagai bangsa yang besar, hendaknya kita
menyadari momentum Pilpres sebagai sarana memilih pemimpin terbaik untuk
rakyat. Tidak hanya itu, pilpres pun menjadi sarana evaluasi sudah sejauh mana
kualitas berdemokrasi masyarakat kita.
Black Campaign sudah
selayaknya kita hindarkan. Masa kampanye pilpres yang sudah di depan mata harus
mencerminkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang beradab. Apalagi dengan masa
kampanye yang terhitung lama yaitu mulai 4 Juni sampai 5 Juli 2014, kegiatan
kampanye harus mampu menunjukkan visi dan misi capres-cawapres dengan jelas
kepada masyarakat. Ada 2 faktor yang menurut penulis harus menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari proses kampanye. Pertama,
isi kampanye menunjukkan bagaimana pandangan capres-cawapres dalam melihat
Indonesia masa depan. Kedua,
bagaimana capres-cawapres meyakinkan bahwa bangsa ini memiliki kemampuan sumber
daya yang melimpah dan mampu menjadi bangsa yang besar. Kedua faktor ini
menunjukkan bahwa isi kampanye bukan sekedar memilih capres-cawapres semata
namun juga bagaimana membangkitkan kesadaran dan semangat masyarakat Indonesia.
Kampanye
pilpres yang akan berlangsung sudah seharusnya sesuai dengan harapan masyarakat
kepada calon pemimpin terpilih. Masyarakat berharap pemimpin terpilih bisa
berjuang dengan sungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat. Maka setiap
capres-cawapres harus mampu menunjukan harapan tersebut kepada rakyat melalui
bentuk dan isi kampanyenya.