Wujudkan Pemerintahan
yang Bersih dan Melayani
19
Juni 2007 menjadi hari bersejarah bagi masyarakat Kabupaten Bandung Barat.
Setelah perjuangan panjang dalam mendorong percepatan otonomi, pada tanggal
tersebut Menteri Dalam Negeri (Ad Interim) Widodo A.S. meresmikan Kabupaten
Bandung Barat. Adapun pembentukan kabupaten ditetapkan pada 2 Januari 2007
melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2007. Setelah dilakukan pengkajian ulang
hari jadi KBB, akhirnya pemerintah daerah menetapkan hari jadi KBB setiap 19
Juni.
Memasuki
usianya yang ke tujuh, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu segera ditangani
oleh Bupati H. Abu Bakar dan jajarannya. Penulis mencatat ada tiga masalah
utama yaitu kesenjangan Indeks Perkembangan Manusia (IPM), buruknya
infrastruktur jalan dan lingkungan serta kualitas aparatur pemerintah.
Masalah Utama
Pertama, Kesenjangan IPM antar wilayah. Berdasarkan data BPS, Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bandung Barat pada tahun 2013 berada di
angka 74,63 dengan Indeks Pendidikan sebesar 85,71, Indeks Kesehatan sebesar
73,84 dan Indeks Daya Beli yaitu 64,35. Apabila mengacu pada klasifikasi United
Nations Development Program (UNDP) angka Indeks Daya Beli masih berada pada
kategori menengah bawah. Kategori ini menunjukkan kemampuan daya beli (purchasing power parity) masyarakat
masih rendah. Bandung Barat bagian selatan mendominasi daerah dengan indeks
daya beli rendah seperti Sindangkerta (62,32), Rongga (62,30), dan Gunung Halu
(62,09). Adapun indeks tinggi diperoleh Lembang (68,90), Padalarang (68,46) dan
Ngamprah (67,94).
Dalam
Indeks Pendidikan, pada tahun 2013 Rata-rata Lama Sekolah (RLS) di KBB yaitu
9,02 tahun. Namun dari 16 Kecamatan yang ada, terdapat 70% atau 11 kecamatan
yang berada di bawah rata-rata RLS kabupaten. Tiga kecamatan diantaranya bahkan
mempunyai RLS sangat rendah yaitu Cipongkor (6,88), Saguling (6,74) dan Rongga
(6,64 tahun). Kesenjangan antara pedesaan dan perkotaan sangat terlihat melihat
penyumbang RLS terbesar yaitu Ngamprah, Batujajar, Cihampelas, Cililin dan
Lembang merupakan daerah perkotaan.
Fakta
lain yang perlu mendapat perhatian serius adalah masih tingginya Angka Kematian
Bayi (AKB). Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA),
selama lima tahun terakhir AKB di Kabupaten Bandung Barat mengalami penurunan
yang sangat lambat. Pada tahun 2009 AKB berada di angka 42,04 bayi per 1000
kelahiran hidup dan tahun 2013 pada angka 40,65 bayi per 1000 kelahiran hidup. Gambaran
bidang kesehatan di KBB terlihat ketika lebih dari 70% kecamatan memiliki Angka
Harapan Hidup (AHH) di bawah rata-rata 69,30 tahun. Cipongkor menjadi kecamatan
dengan AHH terendah yaitu 62,17.
Masalah Kedua, Buruknya infrastruktur jalan dan lingkungan. Liputan “PR” pada 10
Mei 2014 berjudul “Warga Bisa Gugat Pemerintah, Terkait Buruknya Infrastruktur
Jalan di Kabupaten Bandung Barat” patut mendapatkan apresiasi. Kondisi buruknya
infrastruktur jalan adalah isu lama yang terus digembor-gemborkan, tanpa ada
implementasi konkret. Buruknya kondisi jalan, tidak hanya terdapat di jalan
penghubung kecamatan Cipongkor dan Rongga saja, tetapi bisa kita temui seperti
di Gunung Halu maupun Cihampelas yang relatif perkotaan.
Kerusakan
jalan didominasi oleh banyaknya lubang dan bebatuan. Kerusakan ini semakin
parah apabila dalam kondisi hujan, dilewati kendaraan beban berat ataupun
adanya pergerakan tanah. Pada kondisi biasa saja tidak jarang pengendara sepeda
motor tergelincir akibat menghindar dari lubang jalan. Kecelakaan bahkan korban
jiwa akibatnya buruknya jalan di Bandung Barat sudah bukan hal asing lagi
masyarakat.
Tugas
pengelolaan jalan antara Pemerintah Kabupaten dan Provinsi pun dinilai saling
tuding. Kasus Jalan Lama Citarum yang diangkat “PR” pada 10 Mei lalu, dimana
Pemprov Jabar membantah pernyataan Camat Cipatat bahwa jalan tersebut tanggung
jawab Provinsi Jabar. Pemprov menegaskan jalan tersebut milik Pemkab Bandung
Barat. Padahal keberadaan jalan tersebut merupakan penghubung Kabupaten Bandung
Barat dan Kabupaten Cianjur.
Pemerintah
daerah pun dianggap tidak bisa melindungi Kawasan Karst Citatah yang merupakan
bukti sejarah geologi dunia. Laut dangkal jutaan tahun lalu, yang menjelaskan
asal muasal cekungan Bandung kini tinggal menunggu waktu. Kerusakan alam akibat
aktivitas penambangan semakin mengenaskan. Gunung Pabeasan dan Gunung Hawu pun sudah
semakin ‘bopeng’. Penggalian pasir di Parongpong dan Cisarua yang termasuk
Kawasan Bandung Utara (KBU) masih terus berlangsung. Pun demikian dengan
masalah penanganan sampah smasih menjadi hal serius.
Masalah
Ketiga, Kualitas aparatur pemerintah. Terkuaknya kasus korupsi rekrutmen
Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang melibatkan pejabat di lingkungan Pemkab
Bandung Barat baru-baru ini harus menjadi evaluasi betapa pentingnya menegakkan
reformasi birokrasi. Menurut temuan dari Forum Guru Honorer di Padalarang,
tarif yang ditawarkan oleh oknum pemda untuk menjadi PNS dari kategori II
adalah 100 juta rupiah. Hal ini tentu kontradiktif dengan Grand Design
reformasi birokrasi 2010-2025 dari Kementerian PAN dan RB yang berupaya
mewujudkan birokrasi yang bersih, kompeten, dan melayani.
Solusi
Pertama, untuk mengatasi kesenjangan
IPM pemerintah daerah harus mendesign dan melaksanakan program kerjanya dengan memperhatikan
pemerataan pembangunan antar wilayah. Percepatan di bidang infrastruktur perlu
mendapat perhatian serius guna mendorong terciptanya produktivitas ekonomi
masyarakat dan mampu meningkatkan indeks daya beli. Pada sektor kesehatan,
upaya menurunkan Angka Kematian Bayi perlu dilakukan secara intensif dan
komperehensif mengingat hal tersebut menjadi salah satu target MDGs (Millenium Development Goals).
Kedua, pemerintah daerah harus
terbuka dalam hal perencanaan dan penganggaran daerah (APBD). Stigma masyarakat
terkait pembangunan jalan di KBB hanya dibiayai oleh dana CSR saja harus
dijawab dengan bentuk transparansi dana dan program. Pemerintah pun harus
menyediakan mekanisme komplain atas penyelenggaraan pelayanan publik dan perlindungan
bagi warga yang menjadi korban akibat kerusakan jalan. Untuk mengatasi
persoalan kerusakan lingkungan, pemerintah daerah harus memulai terlebih dahulu
dengan komitmen tidak mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan keselamatan
masyarakat dan kelestarian lingkungan. Pemerintah harus konsisten tidak
memberikan ijin bagi perusahaan-perusahaan baru yang akan mengeruk kawasan
Karst Citatah, menindak tegas segala bentuk kegiatan yang beroperasi tanpa ijin
di kawasan Bandung Utara serta mempunyai program jelas untuk menjaga kebersihan
sungai Citarum.
Ketiga, mempercepat pergantian
aparatur yang tidak dapat merubah sikap dan budaya lama dengan aparatur yang
lebih terdidik dan komitmen akan reformasi. Mengutip Anton Minardi (2012)
alternatif percepatan pergantian aparat ini bertujuan untuk mendapatkan
birokrasi yang memihak pada kepentingan rakyat.
Kasus korupsi yang menerpa aparat pemerintah KBB harus diusut tuntas
untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berintegritas.
Pemerintahan
yang bersih dan melayani adalah jawaban atas pekerjaan rumah yang masih belum
terselesaikan. Kita butuh pemerintahan yang bersih, bersih dari korupsi dan
bersih dari politisasi. Kita juga butuh pemerintahan yang melayani, yang
mengkaryakan dirinya hanya untuk kepentingan masyarakat. Selamat hari jadi
Kabupaten Bandung Barat!
Ramlan
Nugraha
Direktur
Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO)
Kabupaten
Bandung Barat