Saya tidak peduli,
Anda beragama atau tidak? Meyakini adanya Tuhan, kematian, hari akhir, ataupun
tentang bagaimana Anda lahir? Saya pun tidak peduli apakah anda melakukan
sholat, puasa, zakat maupun naik haji. Itu semua adalah ruang dimana saya tidak
akan bertanya pada Anda, karena itu merupakan wilayah privasi Anda.
Saya tidak akan
mempermasalahkan apakah Anda seorang homoseksual, seorang
pedofil, apalagi seorang yang single parent gara-gara ditinggal pacar mungkin? Terserah, saya tidak akan
peduli. Menjadi apa, mau kemana, itu hidup Anda. Asal tidak menganggu kehidupan
saya dan orang banyak, itu bukan masalah, selama Anda memperhatikan etika dan
tidak mengganggu kehidupan pribadi kami juga.
Anda kami hargai
atas dasar bagaimana karir sekarang, gelar akademik, dan seabreg pengalaman
yang didapat, ataupun jaringan Anda sekarang. Bagus kalau Anda punya relasi ke
luar negeri, itu poin plus untuk Anda. Apalagi kalau anda seorang yang berduit,
keterampilan bahasa asing oke, plus menantu pejabat, waw nilai Anda begitu
sempurna di mata kami. Sungguh, maukah Anda menjadi partner kami? Bergabung
dengan Anda sebuah kehormatan bagi kelompok kami.
Inilah zaman dimana
kebebasan diatas segalanya. Bebas menentukan hidup kita mau kemana, karena mau
masuk syurga kita yang nanggung, apalagi neraka, apakah orang lain yang
menanggung dosa kita? Btw, itupun kalau kita percaya adanya syurga, neraka
apalagi dosa. Apa itu dosa, definisi dosa versi siapa? Adakah pihak yang
melarang kita melakukan sesuatu?
Inilah cerita
kehidupan, dimana seorang Atheis pernah mengalami kejadian sial. Ketika suatu
waktu, perahu yang ditumpanginya bocor dan dia pun tenggelam. Ditengah
sisa-sisa akhir nafasnya, berjibaku dengan arus sungai yang deras, dia pun
tersadar, hati kecilnya meminta bantuan kepada entah seseorang ataupun sesuatu
yang maha besar, agar membantu dirinya keluar dari rasa takut akan kematiannya
itu. Saya menyebut si Atheis ini mengalami KESIALAN, karena pada akhirnya dia
meminta tolong pada sesuatu yang bagi orang beragama disebut TUHAN. Ini cerita
nyata, dan saya membacanya pada sebuah majalah yang saya lupa namanya. Pada akhirnya
mengantarkan si Atheis ini pada jurang kesialan yang bernama INSYAF, sebuah
kondisi dimana dia mengakui adanya yang Ghaib, yang lebih tinggi dari kuasa dia
sebagai manusia.
Ah, masalah syurga,
neraka, Tuhan itu masalah privasi, diserahkan pada masing-masing orang saja.
Mau percaya atau tidak terserah, itu bukan urusan kami.
Inilah zaman, dimana
moralitas menjadi bagian yang terasingkan dari setiap diri individu, masyarakat
dan negara. Inilah zaman dimana ego manusia diatas segalanya. Tidak mengakui
adanya Maha Pencipta, yang lebih kuasa mengatur sisi kehidupannya. Sungguh
manusia akan celaka karena kesombongannya.
Gambar : http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2011/10/13185322661743870279.png