Jum’at, 12 Februari 2010
Ditulis sebagai pengalaman pribadi waktu mengikuti Konferensi Nasional Anggaran Daerah pada 1-5 Februari di Hotel Peninsula, Jakarta.
Namanya Muhammad Ichwan. Di dunia jejaring sosial, beliau dikenal dengan panggilan Ichwan Ndeso. Tidak seperti nama panggilan belakangnya, lelaki alumnus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta angkatan 1996 ini mempunyai cerita luar biasa tentang kisah sukses mendidik anak. Kapan-kapan, apabila anda mengunjungi Museum Rekor Indonesia, setidaknya akan menemukan nama Muhammad Itqon Alexander. Anak kelas satu SD ini mencatatkan diri sebagai pemegang rekor penghafal bendera dan ibukota seluruh negara di dunia. Tak pelak, negara yang baru merdeka di benua Eropa sekalipun, tidak luput dari sasaran otak cerdas anak ini. Tidak hanya itu, ketika ditanya sejarah suatu negara manapun, anda pasti tercengang dibuatnya. Alexander, begitu anak ini dipanggil oleh ayahnya yang bernama Ichwan Ndeso, seorang pegiat anggaran yang juga aktivis tulen Nahdatul Ulama (NU)Kota Semarang.
Saya bertemu dengan mas Ichwan pada acara konferensi nasional anggaran daerah pada 1-5 Februari 2010 di menara hotel Peninsula, Jakarta. Hampir setiap hari saya sengaja menyempatkan diri untuk berdiskusi dengan beliau. Orangnya supel, enak diajak ngobrol, membuat saya cukup akrab dengan beliau. Tak masalah meski setiap hari harus turun naik dari lantai 20 ke lantai 9. Atas bantuan lift tentunya.
Ketika awal berkenalan, saya tidak tahu bahwa mas Ichwan adalah ayah dari seorang pemegang rekor MURI. Rekornya pun tidak asal-asalan, sebuah pencapaian intelektual yang cukup tinggi bagi seorang anak usia lima tahun waktu itu. Ini berhubungan dengan pendidikan, sebuah fondasi utama ketika kita berhadapan dengan cita-cita membangun peradaban. Faktor inilah yang membuat saya begitu tertarik. Mendengar cerita-cerita dibalik bagaimana sebuah keluarga berjibaku sekuat tenaga membangun peradaban di dalam rumahnya. Betul, keluarga adalah fondasi awal dalam membangun sebuah peradaban.
Anak ini jarang sekolah, pernah hampir dua bulan tidak masuk sekolah. Sampai-sampai gurunya yang datang menjemput ke rumah. Kenapa tidak mau sekolah? Anak ini dengan jujur mengatakan bahwa pelajaran yang diajarkan oleh guru di dalam kelas sudah bisa dikerjakan olehnya. “Jadi untuk apa sekolah?”, katanya. Sebagai contoh, walaupun masih duduk di kelas I SD, tapi dia sudah bisa mengerjkan soal matematika kelas 5 SD. Teman seusianya masih mengaji dengan iqro, dia malah sudah lancar membaca dan menulis Al Quran. Pernah suatu ketika, ayahnya memberikan dia soal CPNS. Tak disangka, anak ini pun bisa mengerjakan setengahnya dengan benar. Belajar dari ini, harus diakui bahwa sistem pendidikan formal kita belum maksimal dalam mendidik anak-anak. Semua potensi disamaratakan, layaknya sekolah adalah mesin cetak. Padahal inti dari proses pendidikan adalah bagaimana mengembangkan potensi maksimal anak sesuai dengan minat dan bakatnya.
Ada beberapa hal yang bisa kita ambil dari cara Mas Ichwan beserta istrinya dalam mendidik anak hingga seperti ini. Diantaranya adalah:
1. Tekad yang kuat sejak anak lahir;
Diakuinya, ketika mengumandangkan adzan pada waktu anak pertama lahir, beliau membayangkan bahwa anaknya kelak akan berdiri bersama dengan tokoh-tokoh dunia. Dia membayangkan tokoh seperti Soekarno, Alexander Agung, Karl Max, dll. “Saya menangis ketika adzan dan membayangkan bahwa anak saya kelak berdiri dengan tokoh-tokoh dunia”, ujar Mas Ichwan. Nama belakang anaknya yaitu Alexander, merupakan salah satu harapan bahwa kelak anaknya bisa menguasai dunia seperti Alexander Agung. Alhasil, setidaknya harapan itu sedikit demi sedikit bisa digenggam. Dalam usia lima tahun Alexander dari Semarang ini menjadi anak satu-satunya di Indonesia yang menguasai wawasan keduniaan tentang bendera, nama negara dan sejarah negara-negara di dunia. Dan ternyata, harapan keluarga untuk membangun peradaban pun tidak hanya tertumpu pada anak pertama, tetapi anak kedua mereka yang masih berusia dua tahun, mereka namakan Cheng Ho. “Saya berharap anak saya bisa menguasai ilmu navigasi laut dan samudera dunia, sehingga kita namakan Cheng Ho”. Mantap!
2. Tidak pernah marah;
Sejak lahir, keluarga dengan dua putra ini tidak pernah memarahi anak-anaknya. “Saya dan istri mencoba dalam hal apapun tidak pernah marah kepada anak. Kami biasanya mempunyai strategi untuk mengalihkan bagaimana agar kondisinya tidak pernah marah”, ujar Ichwan. Ichwan sadar betul bahwa apabila anak dimarahi, maka ratusan ribu sel di dalam otak anak akan hancur. Artinya apabila orang tua memarahi anak maka secara langsung telah menghancurkan anaknya sendiri. Na’udzubillah.
3. Lingkungan serba buku;
Di setiap pojok rumah pasti ada buku. Walau Alex sedang menonton TV, kedua orang tuanya berusaha semaksimal mungkin untuk mendekatkan diri dengan buku. Oleh karena itu, sejak kecil sudah terbiasa dengan buku terutama Atlas. Bahkan tidak jarang juga ketika tidur, Atlas tidak lepas dari tangannya.
4. Latihan visual;
Strategi mula dalam mengembangkan kecerdasan anaknya yaitu dengan memberikan pensil warna sejak kecil. Seperti biasa, yang namanya anak kecil ketika diberikan pensil warna pasti tangannya tidak mau berhenti untuk mencorat-coret apapun yang ada di hadapannya. Ketika itu, kedua orang tuanya membimbing Alex untuk membuat gambar bendera. Selain itu dengan cara mengenalkannya dengan Atlas yang didalamnya terdapat bendera Negara-negara di dunia. Sejak saat itu, Alex rajin menggambar bendera-bendera yang ada di Atlas tersebut dengan pensil warnanya.
Kecerdasan anak usia di bawah delapan tahun biasa disebut usia emas. Apa yang diberikan atau dicontohkan kepadanya dapat ditangkap atau ditiru dengan cepat. Orang tuanya sadar betul tentang ini. Hari demi hari, akhirnya dia bisa menyalin seluruh bendera yang ada di Atlas. Ketika Alex menggambar bendera, maka orang tuanya membimbing Alex dengan mengenalkannya dengan nama ibukota dan sejarah Negara-negara tersebut. Selain itu, konsep pengembangan kecerdasan visualnya dibangun dengan metode permainan mobil-mobilan. Diatas mobil-mobilan tersebut dipasang bendera negara.
Di dalamnya rumahnya sengaja ditempel berbagai macam poster. Hal ini untuk mengenalkan anak untuk melatih kecerdasan visualnya. Anak kecil pasti tertarik dengan warna-warna. Dengan itu, di rumahnya banyak sekali poster seperti angka-angka, lingkungan, dll[]
Catatan ringan dari setiap perjalanan. Sekedar mengasah pena agar tak hilang ditelan waktu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Suasana Kuliah S3
Umumnya, orang akan membayangkan suasana perkuliahan program Doktoral atau Strata Tiga itu menyeramkan. Faktanya, justru suasananya lebih sa...
-
Bandung, 1 Maret 2010 [ketika perjalanan adalah energi untuk terus bergerak] “ Singsingkan lengan baju, hadapi lawan,..dst ”, bagian lagu in...
-
Umumnya, orang akan membayangkan suasana perkuliahan program Doktoral atau Strata Tiga itu menyeramkan. Faktanya, justru suasananya lebih sa...
-
Jum’at, 12 Februari 2010 Ditulis sebagai pengalaman pribadi waktu mengikuti Konferensi Nasional Anggaran Daerah pada 1-5 Februari di Hotel P...
-
Rabu, 31 Maret 2010 Tepat di akhir bulan ini saya mendaftarkan diri untuk mengikuti tes PTESOL (Profiency Test of English to Speakers of Oth...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar