Tulisan ini adalah policy brief dari riset yang dilakukan berkaitan dengan peningkatan peran Forum Stakeholder MTs di KBB Tahun 2014
Salah satu lembaga pendidikan formal di Indonesia adalah madrasah. Lembaga ini memiliki peranan yang cukup penting untuk memfasilitasi kebutuhan pendidikan. Jumlahnya sekitar 18,2% atau sekitar 44.979 dari total jumlah lembaga pendidikan formal yang ada yakni 247.383.[1] Dari jumlah tersebut, tentunya madrasah memiliki kontribusi terhadap peningkatan angka partisipasi kasar (APK)[2] pendidikan di Indonesia. Pada tahun 2013, APK untuk pendidikan SD/MI = 107,62%, SMP/MTs=89,71%, dan SMA/SMK/MA = 68,01 %.[3] Kontribusi madrasah dalam APK masing-masing adalah MI = 12,33 %, MTs = 21,19%, dan MA = 7,88%.[4]
Berdasarkan data APK, madrasah
memiliki kontribusi dalam dunia pendidikan, meskipun kontribusinya tidak
sebesar sekolah umum. Keberadaan madrasah juga sangat membantu keluarga miskin
karena biaya pendidikan madrasah yang murah. Pada tahun 2013 dari total siswa
madrasah yakni 8,08 juta, 34,4% berasal dari keluarga miskin. Hal ini
menunjukkan bahwa madrasah memiliki peran yang cukup signifikan memfasilitasi
kebutuhan pendidikan untuk masyarakat miskin.
Di Indonesia, terdapat tiga
provinsi yang memiliki jumlah madrasah yang cukup banyak, yaitu Jawa Timur,
Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Pada tahun 2012, jumlah madrasah di Jawa Timur
adalah 17.576, Jawa Barat sebanyak 12.514, dan Jawa Tengah sebanyak 10.223[5].
Dari sejumlah madrasah yang ada di Jawa, masih banyak madrasah yang belum
memberikan pelayanan yang baik. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh BIGS
(Bandung Institute of Governance Studies) di beberapa daerah di Jawa, seperti
di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah dan Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat,
terdapat tiga layanan madrasah yang kurang baik, yaitu layanan guru, layanan
buku, dan layanan sarana serta prasarana.
Berdasarkan hasil riset BIGS
tersebut, dalam dua tahun terakhir (2012-2014), kondisi madrasah jauh
tertinggal dibanding sekolah-sekolah umum. Secara kasat mata terlihat kondisi
gedungnya banyak yang telah rusak, fasilitas laboratorium yang kurang, siswanya
makin sedikit karena kurang dilirik, dan kualitas gurunya masih belum
profesional. Satu-satunya program pemerintah yang membuat madrasah masih bisa
bertahan hidup adalah BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Namun disayangkan,
karena mayoritas madrasah adalah swasta, hasil riset BIGS menunjukkan rata-rata
60% - 70% dana itu habis untuk membayar gaji guru. Akibatnya sulit bagi
madrasah mengembangkan kualitas layanannya jika hanya mengandalkan dana BOS .
Perkembangan madrasah cenderung
stagnan karena madrasah memiliki keterbatasan pendanaan. Selama ini nyaris
madrasah hanya mendapatkan dana dari BOS saja. Kalau pun ada dana lain dari
Kemenag, jumlah madrasah yang menerima terbatas. Di Jawa Barat misalnya,
bantuan di luar BOS berupa hibah hanya di terima tidak lebih dari 500 madrasah.
Padahal jumlah madrasah di Jawa Barat lebih dari 10 ribu. Oleh karena itu,
pengembangan madrasah tidak hanya menjadi tanggungjawab Kemenag saja, tetapi
menjadi tanggungjawab pemerintah daerah juga.
Problem kemudian muncul ketika
mengharapkan bantuan dari pemerintah daerah. Madrasah masih dianggap sebagai
bagian dari instansi vertikal sehingga tidak berhak mendapat dana APBD. Padahal
tidak semua madrasah menjadi bagian dari satker Kemenag karena hanya madrasah
yang berstatus negeri saja yang menjadi bagian dari Kemenag. Asumsi ini yang
sepertinya masih mewarnai cara berfikir pemerintah daerah dalam melihat
madrasah. Faktanya hingga kini, di daerah-daerah termaksud di Kabupaten Bandung
Barat dan Kabupaten Kendal, madrasah khususnya MTs kurang mendapat perhatian
dari pemerintah daerah. Hal itu berdasarkan hasil audit sosial yang dilakukan
oleh BIGS dengan bertanya kepada semua stakeholders[6] madrasah.
Dari tiga aspek yang dinilai, di Kabupaten Bandung Barat, nilai regulasi yang
mendukung pendanaan madrasah 2, implementasi regulai 2, dan akses MTs untuk
mendapatkan pendanaan nilainya 1. Kondisi yang hampir sama juga terjadi di Kabupaten
Kendal, yaitu nilai regulasi yang mendukung pendanaan 2, implementasi regulasi
2, dan akses MTs terhadap dana APBD nilainya 2.[7]
Madrasah sangat membutuhkan
perhatian dari Pemda agar bisa tumbuh dan berkembang sehingga bisa memberikan
pelayanan yang baik buat siswanya. Dana
pusat tidak cukup untuk menopang kebutuhan siswa. Saat ini sumber pendanaan
dari Kemenag pusat yang rutin hanya berasal dari BOS saja. Sementara Bansos
atau Hibah sulit karena hanya madrasah-madrasah tertentu saja yang bisa mengaksesnya.
Pada tahun 2013 bantuan BOS untuk siswa MI sebesar Rp. 580.000/siswa/tahun,
sedangkan untuk MTs sebesar 710.000/siswa/tahun.[8]
Dana BOS pada dasarnya tidak cukup
untuk memenuhi operasional siswa karena berdasarkan hasil penelitian yang
pernah ada, misal pada tahun 2010, di Jogyakarta unit cots untuk SD/MI adalah
Rp. 246.000,00/siswa/bulan. Artinya dalam setahun setiap siswa SD/MI
membutuhkan dana sejumlah Rp.2.952.000,00. Sementara unit cost untuk SMP/MTs
adalah Rp. 322.000,00/siswa/bulan. Artinya dalam setahun setiap siswa SMP/MTs
membutuhkan dana sebesar Rp. 3.864.000,00.[9]
Hal ini menunjukkan bahwa persoalan pendanaan di madrasah tidak bisa hanya
mengandalkan pendanaan dari pusat saja, sehingga butuh perhatian dari
pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota.
Dalam analisis regulasi,
sesungguhnya pemerintah daerah memiliki tanggungjawab membantu madrasah
khususnya madrasah swasta. Dari aspek tanggungjawab pendanaan, menurut UUD 1945
khususnya pasal 31, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
khususnya pasal 11, dan PP No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan
khususnya pasal 2, secara tegas menyatakan bahwa pendanaan pendidikan berasal
dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Masyarakat. Besaran alokasi diatur
dalam UUD 1945 khususnya pasal 31 ayat 4 yakni sebesar 20% dari APBN dan APBD.
Mekanisme ini berlaku untuk semua lembaga pendidikan baik sekolah umum maupun
madrasah termaksud pesantren.
Dalam aspek kewenangan, urusan
pendidikan bahkan menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah. Hal itu secara tegas
dinyatakan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Sistem Pemerintahan Daerah
khususnya pasal 13 dan 14 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan
menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Dalam pasal 10 UU yang sama menyatakan
bahwa urusan pusat hanyalah persoalan politik luar negeri, pertahanan keamanan,
yustisi, moneter/fiskal, dan agama. Jadi selayaknya jika Pemerintah Daerah
megambil peran yang besar dalam memajukan pendidikan di daerahnya masing-masing,
tidak terkecuali madrasah.
Dari hasil riset BIGS di dua daerah
yakni Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Kendal menunjukkan bahwa
keberpihakan Pemda kepada madrasah masih kurang. Pada tahun 2013, dari 15
program pendidikan di Kabupaten Bandung Barat, hanya tiga kegiatan dari 1
program yang menyentuh madrasah, yaitu BOS daerah, dana pengembangan sekolah,
dan pengembangan pembelajaran karakter bangsa. Dari sejumlah madrasah yang
disurvey, mereka hanya menerima BOS daerah saja. Madrasah tidak pernah menerima
dana untuk dua kegiatan yang lain, apalagi berupa bantuan renovasi atau bantuan
sarana dan prasarana.
Total anggaran untuk pendidikan
pada tahun 2013 di Kabupaten Bandung Barat sebesar 794,3 Milyar. Alokasi untuk
program wajib belajar sembilan tahun hanya 5,8% dari total anggaran pendidikan.
Dana tersebut digunakan untuk sekolah umum dan hanya sebagian kecil untuk
madrasah. Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Kendal. Pada tahun 2013
jumlah anggaran untuk program wajib belajar sembilan tahun sebesar 56,3 Milyar.
Berdasarkan survey yang dilakukan terhadap sejumlah madrasah, mereka tidak
pernah mendapatkan bantuan RKB (Ruang Kelas Baru), renovasi, bantuan sarana dan
prasarana, termaksud BOS daerah. Padahal di beberapa daerah di Jawa terdapat
program BOS daerah.[10]
Saatnya semua stakeholders di
daerah memberikan suport pendanaan untuk madrasah. Pemerintah daerah diharapkan
mengambil peran itu apalagi secara konstitusi menyebutkan menjadi
tanggungjawabnya juga. Dari riset BIGS, ada pengakuan keterbatasan anggaran
bagi daerah. Sesungguhnya problemnya bukan keterbatasan anggaran, tetapi cara
berfikir pemerintah daerahnya. Apakah pendidikan dianggap sebagai investasi
penting untuk kemajuan daerah. Jika pendidikan dianggap sebagai sektor penting,
tentunya alokasi APBD akan berpihak pada dunia pendidikan.
Keterbatasan anggaran bisa diatasi
dengan kreatifitas Pemerintah Daerah untuk mencari sumber pendanaan lain, misal
dana CSR perusahaan. Di Kabupaten Bandung Barat terdapat beberapa perusahaan yang bisa
membantu pembanguan pendidikan, seperti PT Kertas Padalarang. Terdapat bantuan
material untuk pembangunan gedung sekolah. Sesungguhnya pemerintah daerah bisa
memicu perhatian perusahaan-perusahaan lain. Sayangnya di daerah tidak ada
kebijakan untuk merangkul perusahaan-perusahaan sekitar untuk berpartisipasi
aktif dalam program-program pembanguan di daerah. Akibatnya program-program CSR
ini kurang terarah dan tidak memberikan efek sosial yang baik.
Hal lain yang juga penting adalah
kerjasama yang baik antara dinas pendidikan dengan Kementerian Agama di daerah.
Dari penelitian BIGS, terungkap bahwa koordinasi diantara dua institusi ini
sangat lemah. Akibatnya dinas pendidikan tidak memiliki data base tentang
madrasah, sehinggal sulit bagi mereka untuk menentukan madrasah-madrasah mana
yang bisa dibantu. Untuk mengatasi hal ini, peran komisi pendidikan DPRD sangat
diperlukan. DPRD bisa menjadi fasilitator untuk mewadahi koordinasi antara
dinas pendidikan dan kementerian agama. Dalam koordinasi itu perlu dibahasa
masalah-masalah pendidikan di daerah dan bagaimana cara mengatasinya.
Diharapkan ada pembagian tugas yang jelas antara dinas pendidikan dan
kementerian agama dalam memajukan pendidikan khususnya untuk pendidikan
madrasah. Upaya-upaya ini perlu dilakukan agar madrasah bisa tumbuh dan
berkembang lebih baik.
[1] BPS. Statistik Pendidikan Tahun 2012
[2] APK adalah perbandingan antara jumlah murid pada jenjang pendidikan
tertentu (SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA) dengan penduduk kelompok usia sekolah
yang sesuai yang dinyatakan dalam persentase.
[3] BPS. Statistik Pendidikan Tahun 2013
[4] Analisis Deskriptif Pendidikan RA dan Madrasah Tahun Pelajaran
2011/2012. Kemenag RI
[5] BPS. Statistik Pendidikan Tahun 2012
[6] Stakeholders madrasah meliputi Kemenag Kabupaten, Kepala MTs,
Organisasi Profesi Guru, Yayasan Madrasah, Ormas yang menanungi madrasah,
Komite Sekolah, Orang Tua siswa, Dinas Pendidikan Kabupaten, dan Komisi
Pendidikan DPRD Kabupaten
[7] Skala yang digunakan dalam skor penilaian adalah 1 – 4. Nilai 4
menunjukkan sudah baik, 3 = cukup baik, 2 = kurang baik, dan 1 = buruk.
[8] Buku Panduan BOS Madrasah Tahun 2013
[9] Prof. Zamroni, Ph.D. 2010. Estimasi Anggaran Pendidikan
Dasar Melalui Penghitungan Unit Cost Guna Mewujudkan Pendidikan Dasar
Terjangkau di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. UNY
[10] Hasil analisis dokumen APBD tahun 2013 Kabupaten Bandung Barat dan
Kabupaten Kendal