Catatan ringan dari setiap perjalanan. Sekedar mengasah pena agar tak hilang ditelan waktu.
(Sikap Gerakan Mahasiswa Muslim terkait Usaha Pemberantasan Terorisme oleh Pemerintah SBY)
Pemberantasan Terorisme yang Meresahkan
Oleh: Ramlan Nugraha
Ketua Departemen Kebijakan Publik
KAMMI Wilayah Jawa Barat Periode 2008-2010
Sikap kami pada akhirnya mengerucut pada sebuah pernyataan, pemerintah SBY telah gagal dalam menjaga kedaulatan bangsa ini dari berbagai ancaman yang datang dari dalam maupun luar negeri. Isu terorisme merupakan salah satu ancaman, bukan merupakan isu sentral ketika kita membahas persoalan tentang kedaulatan bangsa ini. Tanpa mencoba untuk menomorduakan persoalan terorisme, hal yang lebih penting untuk dilakukan pemerintah adalah mendefinisikan kembali arti sebuah istilah yang menjadi ancaman bagi bangsa ini.
Penting kiranya ada sebuah kesamaan gerak antara pemerintah dan rakyat dalam setiap aspek apapun, termasuk mencegah ancaman yang merongrong negeri ini. Kesamaan gerak ini tentu diawali dari sebuah pemahaman, bukan karena stigma layaknya pemerintah adalah atasan sedangkan masyarakat adalah bawahan. Sehingga pemerintah melalui aparat keamanan bisa melakukan apa saja terhadap orang yang dicurigai sebagai pelaku terorisme. Kondisi ini menyebabkan sebuah kegelisahan dalam masyarakat, khususnya kaum Muslimin. Adanya kasus penangkapan di beberapa daerah karena alasan dianggap mencurigakan, disebabkan faktor penampilan seperti berjenggot panjang, bercelana ngatung, ataupun karena istrinya bercadar, sesungguhnya bukan sekedar kesalahan teknis semata, tetapi disebabkan karena faktor ketidaksiapan pemerintah dalam menyiapkan aparatnya terkait, “siapa itu teroris?”. Klarifikasi yang dilakukan oleh Kapolri tentang pengawasan ceramah beberapa hari yang lalu, mengindikasikan ada kesalahpahaman antara pemerintah dengan masyarakat. Hal ini seharusnya tidak terjadi apabila dari awal dibangun kesamaan gerak dalam mendefinisikan seorang pelaku teroris.
Ketegangan baru yang dirasakan masyarakat akhir-akhir ini adalah tindakan pemerintah yang meresahkan. Munculnya keresahan ini sekali lagi disebabkan karena tidak terbangunnya sinergitas antara pemerintah dan masyarakat. Mengutip perkataan Emha Ainun Nadjib, “Inilah hari-hari dimana konteks yang mempolarisasikan antara ‘yang berkuasa’ dengan ‘yang dikuasai’ sesungguhnya bersifat multideminsional.”
Sinergisasi yang dilakukan pada dasarnya bukan hanya sekedar diskusi, ataupun duduk bersama dalam sebuah forum yang itu membahas tentang terorisme, tetapi lebih pada wilayah fundamental yaitu kebijakan pemerintah terkait dengan masalah ini. Selama ini, upaya pemberantasan terorisme yang dilakukan pemerintah hanya bersifat pasif. Pasif dalam arti, pemerintah hanya lebih mengedepankan hal teknis seperti himbauan-himbauan, pengawasan yang lebih ekstra terhadap pendatang baru, dan sekelumit titah lainnya kepada masyarakat. Kalaulah pelaku terorisme ini dianggap sebagai penganut ajaran agama yang radikal, maka pemerintah seharusnya sadar dan mempunyai komitmen untuk meluruskan hal ini dengan mencontohkan perintah-perintah agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara benar, bukan radikal. Kita ingin mengetahui sejauh mana aplikasi penerapan nilai-nilai agama dilakukan secara benar oleh pemerintah. Masyarakat pun bisa menilai bahwa inilah pemerintahan yang berkomitmen untuk menjalankan ajaran agama secara benar. Hal ini harus dibuktikan, sehingga berbagai istilah yang digembor-gemborkan selama ini seperti radikal, fundamental, dll bukan hanya dimengerti oleh masyarakat tetapi masyarakat bisa membedakannya dengan jelas karena mendapat teladan langsung dari pemerintahnya.
Mendefiniskan sebuah arti dalam tatanan berbangsa dan bernegara sungguh bukan hanya sekedar teoritis semata. Di tengah berbagai permasalahan yang dihadapi, masyarakat kita butuh bukti, suri teladan dari pemerintahnya. Berbagai pengeboman yang terjadi sesungguhnya tidak akan terjadi apabila adanya sinergitas antara pemerintah dengan masyarakat. Kita hidup berbangsa dan bernegara bukan hanya untuk lima atau sepuluh tahun saja, tetapi untuk masa yang akan datang. Membangun sebuah negara tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Perlu proses didalamnya, perlu kesabaran dalam menjalankannya, dan perlu ketahanan dalam menapakinya.
Sebagai penutup, menyikapi situasi bangsa yang sedang terjadi maka kami menghimbau kepada masyarakat Indonesia untuk: pertama, Memperkuat basis keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa dengan mengokohkan jati diri sebagai bangsa yang berdaulat, merdeka, dan tidak terbelenggu oleh intervensi pihak asing manapun juga; dan kedua, Mengecam semua pihak yang melakukan segala bentuk perbuatan merugikan kepentingan masyarakat dan tindakan menyebarkan provokasi berupa informasi tanpa didasari bukti yang benar dan lengkap sehingga meresahkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Wallahu’alam bishshawab.
Bandung, 26 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Suasana Kuliah S3
Umumnya, orang akan membayangkan suasana perkuliahan program Doktoral atau Strata Tiga itu menyeramkan. Faktanya, justru suasananya lebih sa...
-
Bandung, 1 Maret 2010 [ketika perjalanan adalah energi untuk terus bergerak] “ Singsingkan lengan baju, hadapi lawan,..dst ”, bagian lagu in...
-
Umumnya, orang akan membayangkan suasana perkuliahan program Doktoral atau Strata Tiga itu menyeramkan. Faktanya, justru suasananya lebih sa...
-
Jum’at, 12 Februari 2010 Ditulis sebagai pengalaman pribadi waktu mengikuti Konferensi Nasional Anggaran Daerah pada 1-5 Februari di Hotel P...
-
Rabu, 31 Maret 2010 Tepat di akhir bulan ini saya mendaftarkan diri untuk mengikuti tes PTESOL (Profiency Test of English to Speakers of Oth...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar