Efektivitas pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
berbasis komunitas atau korporasi
Menurut saya, pengelolaan SDA dan lingkungan berbasis
komunitas lebih efektif dibandingkan korporasi. Hal ini karena pengelolaan SDA
dan lingkungan yang dilakukan oleh komunitas berasal dari kearifan lokal berupa
sistem pengetahuan yang telah berakar dari nilai-nilai budaya setempat. Dalam
konteks Etno-Development, kearifan lokal ini telah menjadi pedoman hidup yang
memuat aturan-aturan di dalam masyarakat. Sistem pengetahuan ini memiliki
kemampuan dan daya adaptasi yang telah teruji untuk menyesuaikan dengan kondisi
alam, termasuk bagaimana mengelola keharmonisan manusia dan lingkungan
hidupnya.
Pengelolaan SDA dan lingkungan berbasis komunitas
merupakan bagian dari konsep Pembangunan Berbasis Masyarakat (People Centered Development). Carter
(1996) menyebutkan pendekatan melalui komunitas ini merupakan sebuah strategi
untuk mewujudkan pembangunan yang berpusat pada manusia, dengan cirinya yaitu
pengambilan keputusan pengelolaan sumber daya berkelanjutan di suatu daerah
berada di tangan organisasi-organisasi di dalam masyarakat. Menurut Nikijuluw
(1994), pengelolaan SDA berbasis komunitas meletakkan pengetahuan dan kesadaan
masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Selain itu memiliki akar budaya
kuat, tergabung dengan kepercayaan, dan kemampuan transfer yang baik antar
generasi.
Hal ini berbeda dengan pengelolaan SDA dan lingkungan
berbasis korporasi yang dominan berpijak pada ilmu pengetahuan modern yang
cenderung menyederhanakan sistem ekologi yang amat komplek sehingga menimbulkan
persoalan dalam penggunaan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan (Gadgil
dalam Mitchel et al, 2016). Dalam konteks meningkatkan “produktivitas” secara
berlipat, pendekatan korporasi telah diakui dapat memberikan manfaat yang
lebih. Sehingga karakternya lebih cocok diterapkan untuk pengembangan
eksploitasi sumberdaya konvensional, namun bukan untuk pembangunan
berkelanjutan (Mitchel et al, 2016).
Meski demikian, Lee (1994) berpendapat pendekatan Community Based juga memiliki beberapa kelemahan yaitu Pertama, Lemahnya institusi lokal dalam
menangani konflik; Kedua,
Keterbatasan informasi dan pasar; dan Ketiga,
Kurangnya sistem pendukung seperti kapasitas SDM, fasilitasi kredit, dan
kebijakan. Kelemahan dapat teratasi dengan adanya dukungan dari pihak luar
dalam memobilisasi sumber daya yang dimiliki
dan memperoleh akses sumber daya sehingga dapat meningkatkan kapasitas
masyarakat dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungan.
Kritik
tentang kebijakan dan pengelolaan SDA dan Lingkungan Hidup yang telah
dijalankan Perusahaan
Kritik terhadap kebijakan dan pengelolaan SDA dan
lingkungan berbasis korporasi telah bermunculan sejak tahun 1990-an sebagai
akibat dari evaluasi terhadap pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL). Sebagian besar hasil penelitian menunjukkan kebijakan pengelolaan SDA
dan lingkungan hidup yang dijalankan perusahaan belum melibatkan partisipasi
masyarakat secara optimal.
Dobernstein (1992) menyebutkan ada empat kelemahan
proses AMDAL di Indonesia antara lain Pertama,
Integrasi antara AMDAL dengan proses perijinan rencana kegiatan pembangunan
belum sepenuhnya dilakukan; Kedua,
Belum melibatkan partisipasi masyarakat secara optimal; Ketiga, Tidak ada jaminan rekomendasi AMDAL termasuk UKL dan UPL
akan dilaksanakan oleh perusahaan; dan Keempat,
masih lemahnya metoda-metoda penyusunan AMDAL melihat aspek sosial budaya
secara seksama.
No |
Uraian |
Deskripsi |
1 |
Integrasi dengan proses perijinan rencana
pembangunan |
Belum adanya kejelasan apakah AMDAL dapat digunakan
untuk menolak atau menyetujui suatu rencana kegiatan pembangunan. |
2 |
Partisipasi masyarakat |
Masyarakat atau LSM telah dilibatkan dalam
sidang-sidang komisi AMDAL, namun suaranya belum sepenuhnya diterima dalam
proses pengambilan keputusan. |
3 |
Penerapan AMDAL |
Tidak ada jaminan rekomendasi AMDAL termasuk UKL dan
UPL akan dilaksanakan oleh perusahaan; |
4 |
Aspek Sosial Budaya |
Kegiatan pembangunan yang memiliki implikasi sosial
budaya penting umumnya kurang mendapat perhatian yang seksama dalam studi. |
Tabel 1. Kelemahan dalam Proses AMDAL di Indonesia
(Dobernstein,1992)
Belum optimalnya keterlibatan masyarakat dalam proses
AMDAL juga menjadi temuan dari penelitian Shoba (2006) yang dilakukan terhadap
pelaku industri di Kabupaten Tangerang Banten. Hasil penelitiannya menunjukkan
meskipun terjadi peningkatan jumlah industri yang telah membuat kajian
kelayakan lingkungan setiap tahunnya (AMDAL atau UKL dan UPL), namun pada
kenyataannnya pelaku industri juga tidak memberikan akses kepada masyarakat
untuk terlibat dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Kondisi ini
menyebabkan rendahnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan di
sekitar industri. Studi juga menemukan persepsi pelaku industri yang masih
menganggap kegiatan pengelolaan lingkungan sebagai beban dari segi biaya dan
belum mendapatkan keuntungan kepada perusahaannya.
Dalam penelitian lain, Rudini (2017) melakukan riset
untuk mengungkapkan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pertambangan bauksit
PT Harita di Kecamatan Air Upas, Kabupaten Ketapang. Metode yang digunakan
adalah studi kepustakaan dengan menggunakan pendekatan hukum empiris. Hasil
penelitiannya menyebutkan keterlibatan masyarakat dalam proses AMDAL pada
kegiatan pertambangan bauksit oleh PT Harita belum diimplementasikan sesuai
dengan regulasi yang mengaturnya yaitu Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. 17 Tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses
AMDAL. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan Kantor
Lingkungan Hidup (KLH) Kabupaten Ketapang kepada masyarakat yang terkena dampak
dari kegiatan pertambangan tersebut.
Strategi pembangunan daerah dalam menghadapi pengelolaan SDA dan
Lingkungan
Dalam konteks pembangunan ke depan, ada beberapa
tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah. Boer dan Kolopaking dalam
Kolopaking (2014) menyebutkan faktor pertumbuhan ekonomi yang cepat dan meningkatnya
jumlah populasi manusia menjadi salah satu masalah pembangunan yang dihadapi
saat ini. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tidak jarang manusia melakukan
berbagai kegiatan eksploitasi terhadap alam secara berlebihan. Hal ini
diperparah dengan pengelolaan sumber daya alam yang tidak mengutamakan aspek
konservasi dan kelestarian ekosistem.
Ananto dan Pasandaran (2010) menyebutkan salah satu
bentuk kegiatan manusia yang menyebabkan rusaknya kelestarian ekosistem adalah
degradasi yang serius pada hutan rawa gambut. Hal ini menurutnya disebabkan
karena 1) Pengambilan kayu oleh pemilik HPH yang tidak melakukan rehabilitasi;
2) Menjamurnya penebangan liar (illegal
logging) pasca adanya konsesi HPH; 3) Konversi lahan menjadi perkebunan dan
HTI yang mengabaikan aspek ekologis; dan 4) Pembukaan parit liar untuk lalu
lintas kayu. Kelestarian hutan juga terancam akibat kebakaran di area gambut
dan menyebabkan kerugian hilangnya sumber plasma nutfah termasuk keanekaragaman
hayati di dalamnya dan berkurangnya fungsi gambut sebagai penyimpan air dan
karbon (Ananto dan Pasandaran, 2010).
Adanya pengalaman terhadap pengelolaan SDA sebelumnya,
membuat beberapa daerah berinisiatif mengeluarkan kebijakan yang memperhatikan
kondisi lingkungan setempat. Di Sumatera Selatan misalnya, Gubernur Sumsel menerbitkan
Peraturan Gubernur No. 21 Tahun 2017 tentang Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi
Hijau Provinsi Sumatera Selatan yang mendorong lahirnya Masterplan for Renewable Resources-Driven Green Growth 2017-2030.
Lahirnya Perda ini tidak terlepas dari kasus kebakaran hutan dan lahan di area
gambut tahun 2015 yang melanda Sumatera Selatan yang diperkirakan lebih dari
156 juta ton karbon lepas ke udara akibat kejadian ini (Asmani,2018).
Pergub ini bertujuan untuk mewujudkan pertumbuhan
ekonomi hijau yang menitiberatkan pada keunikan lokal dan pencapaian Target
Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable
Development Goals (SDG’s). Masyarakat tidak lagi menjadi pelengkap dalam
pembangunan, namun juga mitra sejajar dengan pemerintah maupun swasta.
Kebijakan tersebut juga mendorong lahirnya inisiatif lain yaitu Peraturan
Daerah No. 1 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 3, pengaturan dalam
Perda ini diharapkan dapat menjaga keseimbangan dan kelestarian Ekosistem
Gambut agar dapat memberikan manfaat sosial, ekonomi, budaya, ekologi bagi
masyarakat serta menghormati dan menghargai kearifan lokal, hak-hak masyarakat
berupa kepemilikan, penguasaan, akses dan kontrol terhadap Ekosistem Gambut. Dalam
aturan ini juga disebutkan, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem
gambut meliputi tahap perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan dan
tata kelola hidrologi gambut.
Adanya perda yang mengatur pengelolan ekosistem gambut
dengan melibatkan masyarakat sangat relevan dengan kondisi yang terjadi di
daerah. Menurut Noor dan Heyde (2007), ekosistem
lahan gambut di Sumatera Selatan terutama di Taman Nasional Sembilang merupakan
salah satu kesatuan ekosistem lahan basah yang paling penting di Asia Tenggara.
Lahan ini merupakan perwakilan dari hutan rawa gambut alami yang masih tersisa
di Sumatra dan menyimpan karbon yang sangat penting. Lebih lanjut menurutnya,
masyarakat yang tinggal di mintakat (lingkungan) penyangga sangat bergantung
kepada keberadaan dan jasa lingkungan yang disediakan oleh hutan rawa gambut.
Penelitian Ananto dan Pasandaran (2010) menyebutkan,
praktik pelibatan masyarakat dalam pengelolaan gambut juga telah muncul di
daerah, salah satunya di Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan. Hal ini
bermula dari adanya degradasi di areal hutan rawa gambut seluas 10.000 hektar. Melalui
fasilitasi REDD Pilot Project (MRPP)[1]
Pemda Musi Banyuasin bekerjasama dengan Kelompok Masyarakat Peduli Hutan/KMPH melaksanakan
rehabilitasi hutan rawa gambut. Kegiatan pengelolaan lahan gambut berbasis
masyarakat ini meliputi:
Kegiatan |
Deskripsi |
1. Perencanaan |
a. Jenis
dan tingkat kerusakan areal dan tipe intervensi b. Peta
areal terdegradasi. c. Pengecekan
rencana lokasi rehabilitasi. d. Jenis
tanaman yang sesuai |
2. Persiapan |
a. Sosialisasi
rencana rehabilitasl dan kesepakatan kerjasama pelaksanaan kegiatan b. Pra kondisi
areal (Blocking kanal/parit) c. Rencana
pengadaan bibit melalui Persemaian Desa d. Persiapan/pembersihan
lahan |
3. Pelaksanaan |
a. Seleksi
bibit untuk penanaman b. Pengangkutan
bibit c. Penanaman d. Pengecekan
dan pengukuran areal |
4. Tindak
Lanjut |
a. Pemeliharaan
(Penyulaman, Penyiangan, Pemupukan, dll) b. Pemantuan
dan Perlindungan tanaman |
Tabel 2.
Skema kerjasama Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut
Sumber:
Barkah (2009)
Sebagaimana tabel di atas, pengelolaan rehabilitasi
hutan rawa gambut berbasis masyarakat ini melibatkan masyarakat sebagai pelaku
dalam semua tahapan kegiatan mulai dari perencanaan hingga tindak lanjut. Hal
ini sangat disadari mengingat masyarakat lokal merupakan bagian dari
stakeholders yang memiliki akses langsung terhadap kawasan, mempunyai aturan
dan kearifan lokal yang sudah lama dalam melindungi kawasan, dan secara
historis memiliki rasa memiliki yang kuat terhadap kawasan (Ananto dan
Pasandaran, 2010).
Rencana pembangunan daerah (regional development plan) yang disusun oleh pemerintah daerah dalam konteks pengelolaan SDA dan lingkungan perlu melibatkan inisiatif dan partisipasi masyarakat di tingkat lokal untuk sejalan dengan kebijakan pemerintah. Di sisi lain, pelibatan masyarakat juga mendorong adanya kerjasama dengan pihak lain. Oleh karena itu, manajemen pengelolaan SDA dan lingkungan yang dapat diterapkan oleh pemerintah daerah adalah Pengelolaan SDA dan Lingkungan Berbasis Masyarakat yang menciptakan inisiatif kolaborasi multi-pihak.
*) Ramlan Nugraha, Mahasiswa S2 Manajemen Pembangunan Daerah IPB
Daftar Pustaka
Ananto, E. Eko dan
Pasandaran, Effendi. 2010. Pengelolaan
Lahan Gambut di Provinsi Sumatera Selatan dalam Membalik Kecenderungan
Degradasi Sumber Daya Lahan dan Air. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Kementerian Pertanian. Bogor: IPB Press.
Asmani, Najib. Mengungkap Warisan Program Hijau
Berkelanjutan. Diakses pada 30 Juli 2020, dari https://www.mongabay.co.id/2018/03/26/mengungkap-warisan-program-hijau-berkelanjutan/.
Barkah, Baba S. 2009. Panduan Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan
Rawa Gambut Berbasis Masyarakat di Areal MRPP Kabupaten Musi Banyuasin.
Report No. 18. TA.FINAL/ SOP No. 01. PSF Rehabilitation. Rev 0. Merang REDD
Pilot Project (MRPP).
Budiharta, Sugeng. Pengelolaan SDA Berkelanjutan. Diakses
pada 31 Juli 2020, dari https://mediaindonesia.com/read/detail/126585-pengelolaan-sda-berkelanjutan.
Carter, J. 1996. Recent Approaches to Participatory Forest
Resource Assesment. Rural
Development Forestry Study Guide
2, Rural Development Forestry Network. London: Overseas Development Institute.
Doberstein, B.
1992. An evaluation of the use of
Environmental Impact Assesment for urban solid waste management in Denpasar.
Waterloo: UCE Publication Series, Student Paper 12.
Kolopaking,
L. M. 2014. Community-Based Development Management for Climate Change
Adaptation and Mitigation Activities in Indonesia. Global Journal of Engineering Science and Research Management, Vol.
1 (6): 1-8.
Kolopaking,
L. M. 2020. Materi Kuliah Manajemen Sumberdaya Alam dan Lingkungan. IPB: Manajemen Pembangunan Daerah.
Lee, Yiok-Shiu F.
1994. Community Based Urban Environmental Management; Lokal NGOs as Catalysis. Regional Development Dialogue, Vol. 15
(2): 158-176.
Media Indonesia. Pemerintah Daerah Berperan Strategis dalam
Pencapaian SDGs. Diakses pada 31 Juli 2020, dari https://mediaindonesia.com/read/detail/233224-pemerintah-daerah-berperan-strategis-dalam-pencapaian-sdgs.
Mitchell,
B, et al. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nikujuluw, V.P.H. 1994.
Sasi Sebagai Suatu Pengelolaan Sumberdaya Berdasarkan Komunitas. (PSBK) di
Pulau Saparua, Maluku. Jurnal Penelitian
Perikanan Laut 93:79-92. Jakarta:
Balai Penelitan Perikanan Laut, Badan Litbang Pertanian.
Noor, Y.R. dan J, Heyde. 2007. Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Masyarakat
di Indonesia. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia.
Bogor: Weatlands Internasional-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada.
Nurrochmat, D.R. et al. 2016. Kebijakan Pembangunan Kehutanan dan Lingkungan Teori dan
Implementasi. Bogor: IPB Press.
Provinsi
Sumatera Selatan, Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem
Gambut.
Provinsi
Sumatera Selatan, Peraturan Gubernur No. 21 Tahun 2017 tentang Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau
Provinsi Sumatera Selatan.
Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses
Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan.
Rudini, Fransmini
Ora. 2017. Implementasi Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses AMDAL Kegiatan
Pertambangan Bauksit Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 17 Tahun 2012 (Studi di PT. Harita di Kecamatan Air Upas Kabupaten
Ketapang). Jurnal Nestor Magister Hukum,
Vol. 4 (4).
Shoba, Ana. 2006. Evaluasi Pelaksanaan Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan Pada Beberapa Industri di Kabupaten Tangerang.
Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
[1] Merang REDD Pilot Project (MRPP) merupakan proyek kerjasama Pemerintah
Indonesia dan Jerman yang pendanaannya didukung oleh Kementerian Negara Lingkungan
Hidup Jerman (BMU), melalui Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar