Raskin : Antara Fakta dan Harapan

(Tulisan ini merupakan pengalaman penulis selama melakukan monitoring di sektor pendidikan, pertanian dan kesejahteraan sosial di Kab Bandung Barat tahun 2011)


 

Program Raskin ditujukan kepada setiap kepala keluarga yang tidak mampu sesuai dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Sesuai dengan peraturannya yaitu Pedoman Umum Raskin tahun 2011, setiap Kepala Keluarga (KK) diberikan jatah sebanyak 15 Kg/bulan dengan harga Rp 1600/kilo. Jumlah tersebut diberikan sama rata kepada seluruh KK tidak mampu secara nasional. Pemerintah pun menjamin bahwa harga standar yang dijual kepada setiap KK atau penerima manfaat adalah Rp 1600/kilo.

Namun dalam kenyataannya, seperti yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat setiap kepala keluarga yang kami wawancarai tidak mendapatkan jatah sebanyak 15 Kg/bulan. Sebagai contoh, ada keluarga yang hanya mendapatkan 10 Kg/bulan bahkan ada yang hanya 4 Kg/bulan. Ketika ditanya apakah mereka mengetahui bahwa seharusnya mendapatkan 15Kg/bulan, mereka menjawab tidak tahu. Bahkan satu kasus di Kecamatan Parongpong ada yang menuturkan mereka kadang-kadang menerima beras raskin dua bulan sekali, artinya tidak tetap sebulan sekali. Setali dua uang dengan harganya, salah satu warga dari Kecamatan Cipangeran menyampaikan di daerahnya harga raskin sebesar Rp 2000/Kg.


 


 
Selain dari sisi jumlah dan harga, sebagian masyarakat pun mengeluh tentang kualitas raskin yang mereka diterima. Seperti yang dituturkan salah satu warga di Desa Ciwaruga Kecamatan Parongpong bahwa dia bersama keluarganya biasa mencampur beras raskin dengan beras lainnya agar bisa dimakan. Menurutnya kualitas raskin bau apek dan tidak layak dikonsumsi. “Baunya apek dan warnanya kekuning-kuningan sehingga kami terpaksa mencampurnya dengan beras yang kami beli,” demikian tutur warga yang tidak mau disebutkan namanya.
 

Dengan kondisi tersebut bukan berarti masyarakat selaku penerima manfaat tidak melakukan pengaduan. Mereka biasa melakukan pengaduan kepada ketua RT. Masalah yang mereka sampaikan adalah jumlah raskin yang kurang, warga yang tidak mendapat jatah, dan kualitas beras yang jelek. Namun apa daya, pengaduan yang mereka sampaikan jarang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Beberapa warga yang kami temui mengeluh bahwa banyak kerabat dari Ketua RT yang dianggap mampu tapi mendapatkan beras raskin. Kapasitas RT terkait dengan program ini pun mendapat perhatian khusus terutama ketika harus melakukan sosialisasi kepada penerima manfaat. Banyak penerima manfaat yang tidak mengetahui kemana mereka harus melakukan pengaduan. Hal ini berujung kepasrahan saja, dengan kata lain sudah beruntung di tengah himpitan ekonomi yang semakin kejam mereka masih bisa medapatkan beras dengan harga yang murah.

Pemerintah Kabupaten Bandung dengan Kantor Ketahanan Pangan sebagai leading sector dari program ini bukan berarti diam. Melalui Tim Koordinasi Raskin Kabupaten bersama dengan SKPD lainnya mereka menjadi organisasi pelaksana yang bertanggung jawab terhadap kelancaran program ini.

Temuan-temuan berupa fakta yang terjadi di lapangan tidak dimungkiri oleh pemerintah setempat. Masalah luasnya wilayah geografis Bandung Barat serta tidak adanya dana pendamping dari APBD menjadi kendala menurut mereka. Sebagai contoh, penyaluran raskin dari gudang ke desa memerlukan dana transportasi yang tidak sedikit. Begitu pun ketika dari desa ke rumah warga, ketua RT pasti memerlukan biaya. Oleh karena itu menurut perwakilan Kantor Ketahanan Pangan, sangat wajar jika ketika di lapangan harga raskin mencapai Rp 2.000 s/d Rp 2.500 per kilogram. Oleh karena itu apabila ada dana pendamping dari APBD tambahan berupa biaya transport ke lokasi sepertinya bisa teratasi.

Selain itu, masyarakat pun mengeluhkan mengenai kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah khususnya dari Tim Koordinasi Raskin. Ketika ditanya, kondisi internal di SKPD tersebut baru melakukan perombakan, artinya masih melakukan conditioning. Inilah yang dikecewakan oleh masyarakat, pejabat sibuk dengan internalnya dan tidak cepat tanggap terhadap kondisi masyarakat.
 
Dengan kondisi tersebut tujuan raskin untuk mengentaskan kemiskinan akan sulit terwujud jika pemerintah tidak serius membenahi kinerjanya. Melalui Tim Koordinasi Raskin Kabupaten yang dibentuk sesuai peraturan diharapkan kerja sama tim berikut dengan kerja yang dilakukan sesuai dengan tupoksinya. Dana mungkin menjadi kendala, tetapi jika hal tersebut yang selalu dikeluhkan lantas kapan bekerjanya? Padahal pemerintah sudah dibayar oleh rakyat dengan gaji dan tunjangan bulanannya.


***

Suasana Kuliah S3

Umumnya, orang akan membayangkan suasana perkuliahan program Doktoral atau Strata Tiga itu menyeramkan. Faktanya, justru suasananya lebih sa...